SOLOPOS.COM - Joko Widodo (kiri), saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.(JIBI/Solopos/Antara/dok)

Pilgub DKI Jakarta kini terkonsentrasi pada satu isu, Ahok maju sebagai calon independen atau partai. Nama Jokowi hingga kegalauan PDIP ikut disebut.

Solopos.com, JAKARTA — Ini cerita terbaru tentang posisi dan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait dengan ingar-bingar pemberitaan tentang Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam panggung Pilkada (Pilgub) DKI Jakarta 2017.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kisah bermula dari klaim Adian Napitupulu, aktivis 1998 yang kini menjadi anggota DPR dari Fraksi PDIP dan pendukung Jokowi. Adian bercerita, saat menemani Jokowi melihat pameran 600 foto yang digelar relawan Jokowi di Atrium Senen, Jakarta, pada 1 Mei 2016, dia sempat berbincang dengan sang Presiden, termasuk soal langkah Ahok dalam Pilkada DKI mendatang.

Menurut Adian, dirinya menangkap kesan Jokowi berkeinginan Ahok tidak maju dari jalur perseorangan atau independen karena Jakarta berbeda dengan provinsi lainnya. Bahkan Adian mengklaim dirinya diminta Jokowi untuk berbicara dengan Ahok terkait hal itu.

Namun, Juru Bicara Presiden Jokowi, Johan Budi, membantah klaim Adian. Menurutnya, Presiden tak pernah meminta kepada Ahok untuk menempuh jalur perseorangan atau partai politik dalam Pilkada DKI.

Ahok sendiri menanggapi santai pernyataan Adian. Dia tidak membantah telah ditelepon Adian. Namun soal permintaan Jokowi yang diklaim Adian, Ahok menyatakan Jokowi tidak pernah mengatakan seperti itu. Ahok juga mempertanyakan lebih dekat siapa antara dirinya dan Adian dengan Jokowi.

Di kalangan internal PDIP, santer disebut-sebut ada dua kubu utama yang saling berseberangan menyikapi pencalonan Ahok dalam hajatan Pilkada (Pilgub) DKI Jakarta 2016. Kubu pertama berharap Ahok “kembali ke jalan yang benar” dengan menempuh pencalonan lewat partai. Dalam konteks ini, PDIP dengan jumlah kursi tertinggi di DPRD DKI Jakarta memungkinkan bisa mengajukan calon sendiri, siap mencalonkan Ahok. Tentu akan diduetkan dengan kader PDIP Djarot Saiful Hidayat, Wakil Gubernur DKI, yang dinilai mampu bersinergi dengan Ahok.

Kubu ini mengakui bahwa elektabilitas dan popularitas Ahok relatif tinggi dibandingkan nama lainnya, dan PDIP perlu realistis melihat kenyataan hasil survei yang digelar sejumlah lembaga riset tersebut. Namun, kurang elok rasanya bagi PDIP sebagai partai peraih kursi terbanyak di DPRD DKI hanya menjadi pendukung Ahok, bukan menjadi partai pengusung.

Mereka berharap kumpulan relawan berjuluk Teman Ahok yang sudah bekerja mengumpulkan fotokopi KTP dukungan untuk Ahok mau legawa tetap menjadi “relawan” dan bukan pengusung atau pendaftar di KPU.

Sementara itu, kubu kedua berpandangan sebaliknya. Setinggi apapun elektabilitas Ahok yang berpasangan dengan PNS Pemprov DKI Heru Budi Hartono di jalur perseorangan, PDIP sebaiknya mengusung sendiri calon gubernur-wakil gubernur DKI. Mereka juga menilai, meskipun legal dan sah secara hukum, jalur perseorangan merupakan bentuk deparpolisasi.

Kubu ini mendorong agar PDIP mengusung kader internal terbaik yang sudah berpengalaman menjadi kepala daerah dan dikenal memiliki kinerja membanggakan, misalnya Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya. PDIP bisa menjalin koalisi dengan partai lain untuk mengusung cagub-cawagub guna menghadapi Ahok-Heru.

Mereka berpendapat mencalonkan kandidat penantang Ahok merupakan bagian dari upaya PDIP menjaga martabat partai pemilik kursi terbanyak di DPRD DKI. Dengan kata lain, partai sekaliber PDIP tak seharusnya tunduk oleh kemauan seorang Ahok dan relawan pendukungnya yang ada dalam perkumpulan Teman Ahok.

Pertanyaannya, kenapa Ahok tetap ngotot menempuh jalur perseorangan? Bukankah melalui kendaraan partai jauh lebih mudah? Analisis dari sejumlah pengamat soal kenekadan Ahok menyandarkan diri pada dukungan Teman Ahok untuk maju dalam Pilkada DKI bisa disarikan sebagai berikut.

Pertama, adanya sentimen ketidakpercayaan terhadap partai karena kinerja anggota DPR/DPRD yang dinilai tidak optimal selama beberapa waktu terakhir. Dengan demikian, mencalonkan diri lewat jalur perseorangan adalah pilihan rasional yang bisa membuahkan dukungan kuat dari publik yang skeptis terhadap peran partai dan politisi.

Sejauh ini, bila klaim Teman Ahok ihwal perolehan foto kopi KTP dukungan untuk Ahok benar telah mencapai hampir 1 juta lembar. Hal itu merupakan bukti nyata bahwa jalur perseorangan cukup menjanjikan.

Kedua, Ahok tentu sangat menyadari bahwa strategi marketing politik yang dilakukannya melalui jalur perseorangan telah membukakan peluang bagi partai untuk “mendompleng” elektabilitas dan popularitasnya. Partai menengah macam Partai Nasdem dan Partai Hanura tentu berpeluang memperluas “market share” dari para simpatisan Ahok yang telah sukarela mengumpulkan fot okopi KTP untuk mendukung pencalonannya.

Entah Ahok menang atau kalah dalam pilkada mendatang, partai pendukung Ahok tetap berpotensi mendapat imbas positif dari para pemilih Ahok pada Pemilu 2019. Nasdem dan Hanura tentu sudah mengkalkulasi soal untung rugi memberikan endorsement untuk Ahok. Boleh jadi Partai Golkar yang belakangan turut memberikan dukungan kepada Ahok juga mempertimbangkan hal serupa.

Dilema PDIP

Harus diakui, dilema yang dihadapi PDIP adalah bagaimana menjaga martabat sebagai partai peraih kursi/suara terbanyak Pemilu Legislatif 2014 dan sekaligus mengusung kandidat Gubernur DKI yang dinilai paling berpeluang memenangkan kontestasi.

Menjadi sekadar barisan “turut mendukung” Ahok layaknya Nasdem dan Hanura rasanya kurang elok, karena secara matematis bahkan PDIP bisa mengusung pasangan calon sendiri tanpa harus koalisi dengan partai manapun untuk Pilkada DKI.

Di tengah hiruk-pikuk pernyataan sejumlah politisi PDIP yang mencerminkan polarisasi dua kubu terkait penyikapan terhadap pencalonan Ahok sebagai petahana, sejauh ini belum terlihat sinyal atau suara dari Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum PDIP dalam konteks penyikapan atas Pilkada DKI.

Ahok sendiri berkali-kali mengisyaratkan bahwa dirinya dekat dengan PDIP dan Megawati. Bahkan, suatu ketika, Ahok mengaku sebagai “orangnya” Megawati. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pun mengakui bahwa Megawati masih sayang Ahok.

Sementara itu, kader terbaik PDIP saat ini—Presiden Joko Widodo—juga dikenal memiliki kedekatan dengan Ahok dari sejak keduanya menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI hingga Jokowi “naik kelas” menjadi Presiden dan Ahok mendapat ‘warisan’ kursi Gubernur DKI.

Ahok pernah melontarkan pernyataan bernada canda bahwa sebenarnya Jokowi tetap Gubernur DKI yang kebetulan “dipinjamkan” sebagai Presiden. Dengan kata lain, Ahok hendak memberi impresi kepada khalayak bahwa “kasta” politik Jokowi lebih tinggi setingkat dibandingkan dirinya sendiri. Adakah ini mengindikasikan bahwa Jokowi juga memberikan “mentoring” kepada Ahok terkait Pilkada DKI mendatang?



Mungkin Jokowi memang tidak pernah secara langsung meminta Ahok untuk tetap bersikukuh lewat jalur perseorangan, dan menyandarkan dukungan utama kepada relawan yang tergabung dalam Teman Ahok. Namun, melihat kecenderungan bahwa Jokowi juga berhasil meraih sukses dua kali (Pilkada DKI 2012 dan Pilpres 2014) dengan antara lain mengandalkan dukungan signifikan relawan, secara prinsip Jokowi tentu bisa memahami kenekadan Ahok menempuh jalur perseorangan.

Fakta yang ada memperlihatkan terpilihnya duet Jokowi-Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014 juga tak lepas dari peran penting para relawan yang tergabung dalam aneka perkumpulan. Alhasil muncul suatu persepsi problematis apakah terpilihnya Jokowi-JK lebih karena faktor mesin partai—koalisi PDIP dkk— atau justru dominan faktor relawan yang bekerja secara mandiri dengan melakukan berbagai kegiatan sinergis yang berujung pada penggalangan dukungan masif bagi duet tersebut?

Berbeda dengan Partai Gerindra yang terang-terangan tak sudi mencalonkan Ahok lagi dan kemungkinan besar berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) serta beberapa partai lainnya untuk mengusung penantang Ahok, PDIP tampak menghadapi kegalauan dan dilema tersendiri.

Namun, cepat atau lambat, Megawati sebagai penentu akhir di PDIP akan mengambil sikap dan keputusan. Satu hal pasti, skenario PDIP dalam menghadapi pencalonan Ahok dan Pilkada DKI akan menentukan konfigurasi politik dan pertarungan dalam hajatan mencari pemimpin Ibu Kota itu sendiri ke depan.

Lagi-lagi semua pihak harus menunggu keputusan Megawati sebagai tokoh partai paling berpengaruh saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya