SOLOPOS.COM - Ahmadi H. Dardiri

Pada akhir bulan kemarin, tepatnya pada 26 Juli 2021 tersiar kabar bahwa anak Akidi Tio, seorang penguasaha asal Aceh, menyumbang dana yang jumlahnya sangat fantastis untuk penanggulangan Covid-19 bagi warga Sumatra Selatan dengan nominal Rp2 triliun.

Pemberitaan ini kemudian menjadi sangat viral ketika sepekan kemudian Polda Sumsel memanggil dan melakukan penyidikan bahkan ada wacana bahwa anak Akidi Tio, Haryanti, menjadi tersangka atas tindakan yang dilakukan pada sepekan sebelumnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Polda Sumsel sendiri menyatakan bahwa tidak akan melakukan penangkapan kepada Haryanti dan hanya melakukan pemanggilan untuk klarifikasi sumbangan Rp2 triliun tersebut setelah melakukan penyidikan dalam permasalahan sumbangan Rp2 triliun tersebut. Permasalahan ini kemudian meluas di masyarakat umum bahwa permasalahan ini masuk dalam ranah kategori permasalahan hukum jika nantinya sumbangan tersebut tidak dapat direalisasikan.

Sepekan setelah dipuja oleh masyarakat akan sumbangan Rp2 triliun terhadap negara, belum dibayarkannya sumbangan Rp2 triliun ini kemudian berujung pada ancaman-ancaman tindak pidana yang akan didapatkan oleh Haryanti.

Politikus Partai Gerindra Fadli Zon misalkan menyatakan bahwa tindakan ini akan bisa dipidana jika sumbangan tersebut tidak dibayarkan. Begitu pula dengan komentar Ketua MPR Bambang Soesatyo yang berharap bahwa sumbangan tersebut harus direalisasikan dan akan ada hukuman jika tidak dilaksanakan.

Polda Sumatra Selatan melalui Direktur Intelkam Polda Kombes Ratno Kuncoro menyatakan bahwa pasal yang akan dikenakan dalam kasus ini adalah UU No.1 Tahun 1946 pasal 14 ayat (1), ayat (2) dan 15. Pasal 14 dan 15 dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Ini merupakan pasal yang biasa digunakan sebagai dasar penuntutan perbuatan menyiarkan kabar bohong (hoax).

Pasal 14 ayat (1) berbunyi, “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun”. Sementara ayat (2) menyatakan bahwa, “Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun”.

Pada pasal 15 KUHP disebutkan bahwa, “Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun”.

Pada pasal di atas dengan jelas disebutkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Haryanti dapat dikategorikan atau setidaknya unsur dalam tindak pidananya masuk dalam perbuatan tersebut. Pemidanan terhadap tersangka bagi penulis merupakan hal yang sangat jelas dan terukur untuk pemenuhan unsur pidana dalam pasal 14 dan 15 KUHP.

Namun permasalahannya, tindakan yang dilakukan oleh pelaku merupakan tindakan yang difasilitasi oleh Polda Sumsel sehingga ada indikasi justru pihak Polda Sumsel dapat masuk dalam kategorisasi turut tergugat. Pada pasal 14 dan 15 dalam KUHP ini salah satu fokus unsur utamanya adalah “menyiarkan”.

Kata menyiarkan ini secara kebahasaan memiliki arti menyebarkan atau memberitahukan kepada khalayak umum. Proses pemberian sumbangan Rp2 triliun yang dilakukan oleh pelaku merupakan tindakan yang dilakukan bersama dengan Polda Sumatera Selatan karena penyerahan sumbangan Rp2 triliun tersebut secara simbolis diserahkan kepada Gubernur Sumsel Herman Deru dan Kapolda Sumsel Irjen Pol Eko Indra Heri di Mapolda Sumsel, sehingga kegiatan ini merupakan kegiatan yang telah disahkan oleh aparat pemerintah.

Tindakan penyebaran yang difasilitasi Polda Sumsel, melalui penyerahannya di mapolda, ini seharusnya merupakan tindakan yang sudah diverifikasi terlebih dahulu kebenarannya oleh pihak kepolisian sebelum diumumkan ke khalayak umum atau masuk ke dalam ranah publik.

Kelalaian pihak Polda Sumsel dalam verifikasi kebenaran informasi yang akan disiarkan kepada publik ini bagi penulis memiliki implikasi yang sangat besar dalam membantu penyebaran informasi kebohongan yang dilakukan oleh pelaku jika nantinya tindakan ini masuk dalam kategori pidana.

Pada saat kondisi wabah semacam ini, pemerintah dan kepolisian seharusnya dapat bertindak lebih bijak dan hati-hati atas iming-iming atau pemberian bantuan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan hanya mencari untung atas kejadian pandemi yang kita alami.

Bantuan untuk penanggulan Covid 19 dari pemerintah dapat dimaksimalkan oleh para pemegang kebijakan dengan tidak mengurangi jumlah bantuan yang ada sebagaimana kasus korupsi bansos atau bantuan uang yang dialihkan ke sembako dengan jumlah nominal uang yang tidak sesuai dibandingkan dengan berharap atas pemberian dana Rp2 triliun yang belum terbukti kebenarannya. Semoga pandemi ini segera cepat berlalu dan kita dapat beraktifitas normal kembali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya