BANTUL—Gempa bumi yang meluluhlantakkan sebagian wilayah Bantul, 27 Mei 2006 silam, masih terekam jelas di ingatan Triyono Raharjo, 40, warga Dusun Mandingan, Ringinharjo, Bantul.

PromosiJalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bagaimana tidak, kekuatan gempa saat itu yang mencapai 5,9 skala ritcher (SR) telah ia abadikan menjadi merek camilan tradisional buah karyanya, peyek 5,9 SR.

Ekspedisi Mudik 2024

“Karena namanya unik, pernah ada wisatawan yang memborong hingga tiga dus besar untuk oleh-oleh di Jepang,” kata ayah satu anak itu kepada Harian Jogja, beberapa waktu lalu.

Selain karena nama 5,9 SR, Triyono menambahkan, camilan dari adonan tepung beras dan kacang itu terkesan unik karena ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan peyek pada umumnya.

Bukan tanpa alasan mantan sopir katering itu membuat peyeknya dalam ukuran mini. “Kecil-kecil jadi mirip serpihan tembok bangunan yang runtuh akibat gempa. Ini yang membuat beda,” ujarnya.

Istri Triyono, Rusmiati, 35, menuturkan, gempa 2006 yang genap berusia 6 tahun itu menyisakan banyak kisah suka dan duka pada keluarganya.

Sebab, meski seluruh anggota keluarganya selamat, sebagian besar bangunan rumah yang ia tinggali bersama ibunya, Welas, 65, rata dengan tanah.

“Sungguh suatu pengalaman yang tidak terlupakan ketika kami sekeluarga harus tinggal di barak pengungsian selama sekitar 3 bulan,” kenang Rusmi, sapaan akrabnya.

Dalam kondisi masih serba kalut, masih kata Rusmi, suaminya terpaksa menganggur karena katering tempatnya bekerja sepi order selama hampir dua minggu pasca gempa.

Demikian pula ibu Rusmi, Welas, yang terancam bangkrut karena usaha camilan tradisional yang telah dirintisnya selama belasan tahun ditinggalkan para pelanggannya yang juga jadi korban gempa.

Namun, keluarga kecil itu tetap berbesar hati dan yakin bahwa di balik musibah pasti terkandung hikmah. Bermodal nekat, Welas dan Triyono bahu membahu merintis usaha peyek.“Berbekal sisa tabungan, kami mengadu nasib dengan memproduksi peyek. Kami masaknya juga di barak pengungsian,” terang Rusmi.

Memanfaatkan jaringannya semasa bekerja di katering, Triyono memberanikan diri untuk menjajakan peyek yang saat itu belum diberi label 5,9 SR ke sejumlah hotel ternama di Jogja.

Selain karena renyah dan gurih, peyek itu juga mendapat tempat di hati para pelanggannya mengingat perjuangan keras Triyono sekeluarga bangkit dari keterpurukan pasca gempa.

Pesanan pun terus mengalir. Kewalahan karena harus memproduksi sekitar 800 kemasan tiap hari, Triyono pun merekrut lima karyawan yang tidak lain adalah tetangganya sesama korban gempa.

Seiring waktu berjalan, omzet peyek 5,9 SR menyusut. Kini, tinggal 300 kemasan yang diproduksi tiap harinya untuk memasok pedagang di pasar-pasar tradisional di Bantul dan sekitarnya.Karyawan pun berkurang, tinggal tiga orang. Sementara harga bahan baku semakin mahal, Triyono harus tetap menjaga pelanggan dengan tidak menaikkan harga.

“Tetap Rp3.000. Satu kemasan isinya 24 peyek,” jelasnya. Meski demikian, kata syukur tidak pernah lepas dari mulut Triyono. Sebab, penghasilan dari usaha peyek 5,9 SR itu telah menjelma sebuah rumah baru yang telah siap ditinggali bersama istri dan anaknya. (Dinda Leo Listy)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Rekomendasi