SOLOPOS.COM - Pemilik Agrowisata Desa Kepatihan, Dwi Sartono, 38, menunjukkan buah hasil panen di demplot miliknya, Desa Kepatihan, Selogiri, Wonogiri. (Solopos-Cahyadi Kurniawan)

Solopos.com, WONOGIRI -- Seorang petani asal Kepatihan, Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Dwi Sartono, 38, berhasil menanam aneka sayuran terong, cabai, pare, hingga kembang kol di lahann seluas 4.000 meter persegi.

Di lahan yang sama dia menanam melon, labu, dan lainnya. Padahal, lahan di sekelilingnya dibiarkan bera mengingat kemarau sedang ada di puncaknya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Air yang ia pakai berasal dari sumur pantek di lahan yang sama. Manajemen air ini menjadi kunci keberhasilan menanam buah dan sayur pada musim kering seperti saat ini.

“Air perlu kita atur. Hortikultura bukan tanaman air tapi dia butuh air. Kalau ada air sedikit, jangan paksa tanam banyak. Tanam secukupnya yang penting hasilnya bagus,” ujar dia, saat ditemui di sawahnya, baru-baru ini.

Menurut Dwi Sartono, kebutuhan air tanaman hortikultura dibanding padi mencapai 1 banding 3. Air punya mengalir melalui sela-sela bedengan. Penggunaan air ini bahkan bisa lebih hemat jika menggunakan sistem selang drip.

“Model ini cocok untuk merespons perubahan iklim. Ini kesempatan luar biasa ketika orang patah arang. Negatifnya, kita harus kerja ekstra. Positifnya, hama dan penyakit berkurang dan persaingan tanaman kecil. Artinya, nilai jual lebih tinggi,” tutur pria petani melon itu.

Konsep itu dilahirkan sebagai respons kesedihannya atas kondisi petani masa kini. Menurut dia, dari data Badan Pusat Statistik BPS menunjukkan penguasaan lahan petani hanya 0,3 hektare. Tanah itupun kadang statusnya sewa.

Akibatnya, petani hanya bisa menghasilkan sekitar 1,5 ton gabah per musim panen. Ia yakin dengan penghasilan sejumlah itu petani sulit untuk hidup layak.

Ia lalu mencari cara mengembangkan pertanian yang bernilai ekonomis tinggi, salah satunya hortikultura. Ia menanam melon. Hasilnya, dari satu hektare lahan bisa meraup omzet Rp100 juta. Sedangkan, dengan luasan yang sama padi hanya mampu menghasilkan Rp30 juta.

“Dari situ saya improvisasi agar orang bisa melihat. Di lahan ekstrem inilah bisa ada satu demplot. Jangan bandingkan kami dengan lahan kaya air,” terang pria asal Sokomarto, Kepatihan, Selogiri itu.

Selain hemat air, tanaman hortikultura juga lebih menguntungkan dengan masa panen lebih cepat yakni dua bulan. Sayuran tertentu bahkan bisa lebih pendek dari itu. Lahannya pun tak perlu luas. Dengan lahan seluas 500 meter persegi bisa menghasilkan Rp10 juta.

“Saya berharap petani padi bisa memanfaatkan sedikit lahannya untuk menanam hortikultura. Kalau menguntungkan ayo lanjut, kalau tidak, beri kami alasan,” tutur dia.

Model pertanian ini juga memberikan efek domino bagi tenaga kerja di sekitarnya. Lahan seluas 4.000 meter persegi yang ia garap membutuhkan 3-5 tenaga kerja. Hal itu di luar kebutuhan tenaga tanam, repacking, pemupukan, dan lainnya.

“Melalui edukasi ini kami berharap banyak orang mau belajar. Hal itu akan mendorong kuantitias makin banyak. Kualitas output produknya juga baik. Kami akan jamin pasar hasil produksinya,” imbuh Dwi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya