SOLOPOS.COM - Petani di Kalimantan Barat mengolah kedelai hasil panen. (Antaranews.com)

Solopos.com, NGAWI — Petani di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, semakin enggan untuk menanam kedelai. Hal ini karena hasil panen kedelai lokal kalah bersaing dengan produk kedelai impor.

Karena kondisi itu, produksi kedelai di Ngawi pun turun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Ngawi mencatat luas lahan panen kedelai tahun 2020 menurun signifikan jika dibandingkan pada 2019.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Luas lahan panen kedelai tahun 2020 mencapai 817 hektare dengan jumlah produksi 1.240 ton. Angka ini menurun drastis dari luas lahan panen kedelai pada 2019 yang mencapai 2.192 hektare dengan produksi 3.444 ton. Padahal kebutuhan kedelai warga Ngawi mencapai sekitar 7.200 ton per tahun.

Baca Juga: Siap-Siap, Situs Srigading Segera Dijadikan Tempat Wisata Sejarah

“Petani lokal enggan menanam kedelai karena harga jualnya kalah bersaing dengan harga kedelai impor yang lebih murah,” kata Bupati Ngawi, Ony Anwar Harsono kepada Antara, Selasa (15/3/2022).

Ony menyampaikan selama ini masyarakat cenderung memilih membeli kedelai impor yang harganya lebih murah, yakni Rp7.000 per kilogram. Angka ini dihitung saat kondisi harga normal belum ada kenaikan harga seperti sekarang.

Harga kedelai impor itu lebih murah dibandingkan kedelai lokal yang harganya Rp8.500 per kilogram. Petani Ngawi terpaksa menjual lebih mahal karena untuk menutup biaya operasional tanam.

“Karena kalag bersaing harga, maka petani setempat tidak lagi menanam kedelai. Sehingga otomatis lahan tanam dan produksi kedelai turun drastis,” jelas dia.

Baca Juga: 25 Kejadian Bencana Alam Terjang Magetan Selama 2 Bulan

Banyaknya petani yang enggan menanam kedelai ini membuat ketergantungan pasokan dari luar negeri semakin besar. Ony menilai hal itu adalah sebuah ironi, menyusul mahalnya harga kedelai impor saat ini akibat tersendatnya pendistribusian dari negara produsen.

“Akibatnya kedelai langka di pasaran, harga naik, dan berimbas pada sejumlah perajin tempe dan tahu,” kata dia.

Harga kedelai di pasaran Ngawi saat ini berkisar antara Rp13.000 sampai Rp14.000 per kilogram, baik untuk jenis lokal maupun impor. Situasi itu benar-benar memberatkan perajin tepe dan pelaku UMKM keripik tempe yang menjadi andalan di Ngawi.

Data dari Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah (Dinkop UMKM) Ngawi mencatat ada sekitar 300 pelaku usaha industri tempe dan tahu yang terkena dampak kenaikan harga kedelai.

Ony menyampaikan terdapat sejumlah soluasi untuk menanggulangi mahalnya harga kedelai saat ini. Yaitu melakukan intervensi di tingkat pasar. Penanganan jangka pendek berupa operasi pasar dan inspeksi itu butuh keterlibatan pemerintah pusat. Sedangkan penanganan jangka panjangnya mencari bibit kedelai unggul dan produktif.

Bibit tersebut diharapkan dapat menarik minat petani untuk menanm kedelai. Selain itu juga bersaing dengan kedelai impor saat alur distribusinya kembali lancar. Bibit unggulan tersebut diharapkan minim  biaya produksi dan menghasilkan panen yang lebih maksimal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya