SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Madiunpos.com, MADIUN — Petani Kota Madiun mengalami kesulitan air untuk mengolah sawah mereka. Agar bisa menanam padi, mereka harus menggunakan mesin diesel untuk memompa air. Artinya mereka harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk bahan bakar mesin diesel.

Seorang petani di Kelurahan Ngegong, Kecamatan Manguharjo, Lamidi, saat ditemui Madiunpos.com di sawahnya, Rabu (14/8/2019), mengatakan saat ini sudah mulai musim tanam di musim kemarau. Dia tidak mengkhawatirkan persoalan air namun harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk mendapatkannya. 
Saat musim penghujan, Lamidi mengandalkan air sungai di dekat areal sawahnya. Tetapi, saat musim kemarau seperti sekarang sungai tersebut kering dan tidak ada airnya. 

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Biasanya menggunakan air di sungai. Sekarang ya harus ngambil air dari sumur tanah. Kedalamannya mencapai 12 meter untuk bisa mendapatkan air,” jelas dia. 
Warga Ngegong itu menuturkan pada musim hujan, ia hanya perlu mengeluarkan uang untuk bibit dan perawatan. Tetapi saat musim seperti sekarang, ada biaya tambahan untuk kebutuhan air. 

Dalam satu kali masa tanam, ujar dia, setidaknya dibutuhkan biaya hingga Rp1,5 juta khusus untuk memenuhi kebutuhan air. Biaya itu untuk lahan satu kotak dengan ukuran 1.400 meter persegi. Lamidi memerinci untuk menyedot air dari sumur selama 12 jam, setidaknya dibutuhkan sekitar 10 liter solar atau Rp65.000. 
“Ya selama satu musim tanam ya nyedot air terus. Kan padi membutuhkan air yang cukup banyak,” kata dia. 

Hal senada juga dikatakan petani Kelurahan Ngegong lainnya, Yadi. Ia menuturkan biaya tanam padi saat musim kemarau semakin meningkat pada waktu kemarau. Dia berharap Pemkot Madiun memiliki solusi untuk memenuhi kebutuhan air bagi para petani. Supaya petani tidak merugi saat menanam padi pada musim kemarau. 
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Madiun, Muntoro Danardono, mengatakan bulan ini sudah masuk masa tanam kedua.

Masa tanam kedua ini masuk dalam musim kemarau. Lahan tanaman padi di Kota Madiun hanya 78 hektare. Pada masa tanam kedua ini, para petani menggantungkan air dari sumur dalam untuk mengairi lahan pertanian mereka. 

Muntoro mengaku sampai saat ini belum mendapatkan keluhan terkait kekurangan air untuk lahan pertanian. “Kami sudah turun ke lapangan memang tidak ada keluhan kekeringan. Ada beberapa yang mengeluh karena pompanya rusak. Tapi untuk kebutuhan air masih bisa tercukupi,” jelas dia.

Dalam beberapa tahun terakhir, luas laha pertanian di Kota Madiun terus menyusut. Alih fungsi lahan dari sawah menjadi kawasan perumahaan dan pertokoan menjadi penyebab. Penyusutan lahan pertanian ini diperkirakan mencapai 2 persen setiap tahunnya.

Menurut data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Madiun, pada 2016 luas lahan produktif mencapai 926 hektare, pada 2017 menjadi 923 hektare dan 2018 berkurang lagi jadi 901 hektare.

Pemkot Madiun sejatinya sudah mengeluarkan Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Madiun tahun 2010 hingga 2030 untuk menekan alih fungsi lahan pertanian. Perda itu menyebutkan terdapat 444 hektare lahan pertanian berkelanjutan yang dilarang di alih fungsikan hingga 2030.

Minimnya lahan pertanian membuat Kota Madiun mengandalkan pasokan beras dari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan warganya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya