SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Magelang--Pascabencana erupsi Merapi, ratusan petani di sejumlah dusun di Kabupaten Magelang, saat ini beralih profesi menjadi penambang pasir.

Hal itu dilakukan karena banyak lahan milik petani belum bisa diolah lagi usai tertimbun abu vulkanik merapi.

Promosi BRI Sambut Baik Keputusan OJK Hentikan Restrukturisasi Kredit Covid-19

Mereka merasa takut kelaparan dan tidak bisa bertahan hidup jika mengandalkan bantuan pemerintah. Di sisi lain, infrastruktur pengairan juga banyak yang rusak.

Informasi yang dilansir pantauan detikcom di tujuh sungai di Magelang seperti di aliran Kali Pabelan, Kali Krasak, Kali Putih, Kali  Batang, Kali Blongkeng dan Kali Lamat kini dipenuhi warga yang mencari pasir baik secara pribadi maupun berkelompok untuk dijual melalui truk-truk pasir yang sudah antre.

Ekspedisi Mudik 2024

“Dari pada menganggur di rumah, lebih baik mencari pasir. Lumayan untuk tambah-tambah penghasilan, di saat lahan pertanian belum bisa diolah,” kata Sukirman, 44, warga Candi Desa Sirahan, Kecamatan Salam, yang mencari pasir di Sungai Putih tidak jauh dari rumahnya kepada detikcom Rabu (24/11).

Hal senada juga dikatakan Suryanto, juga warga Candi. Dia bersama lima orang tetangganya, berkelompok mencari pasir di Sungai Putih. Sebelumnya, bapak dua orang anak ini, sehari-hari berprofesi sebagai petani.

Namun seiring saluran irigasi di wilayahnya rusak diterjang banjir lahar, ia menjadi penganggur.

Karena itu, ia bersama lima orang tetangganya, berinisiatif mencari pasir.

“Mau bekerja apa lagi, adanya saat ini pasir ya kita tambang saja. Sekalian juga mengurangi volume pasir di sungai, sehingga jika terjadi banjir lahar tidak meluber hingga ke perkampungan,” tegas Sriyanto.

Disebutkan, rata-rata sehari mereka mendapat Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu dari hasil mencari pasir tersebut. Namun besar kecilnya pendapatan, tergantung pasir yang mereka tambang terjual.

“Semakin banyak terjual, pendapatan semakin besar. Namun, kita rata-rata sehari membawa pulang Rp 50 ribu,” jelas Sriyanto.

Sementara di Sungai Pabelan, puluhan truk berdatangan setiap harinya. Bahkan mereka harus antre, untuk mendapatkan pasir dari sungai tersebut.

Fatkhan, 35, warga sekitar lokasi menyebutkan, penambangan di wilayahnya dimulai sejak awal November lalu atau usai sungai itu dibanjiri lahar dingin merapi. Hingga kemarin, terlihat puluhan titik yang menjadi lokasi penambang di alur sungai tersebut.

Wahyudin, 53, warga Temanggung, Jateng, salah satu buruh penambang mengungkapkan, ia nekat menambang meski bahaya mengancam.

Hal itu ia lakukan, lantaran sudah menganggur dua minggu karena lahan pertanian belum bisa diolah.

“Untuk mengisi waktu dari pada menganggur di rumah,” ujar Wahyudin.

Wahyudin menyatakan, untuk mengisi sebuah truk, biasanya dilakukan oleh tiga hingga empat penambang. Sebelum ada banjir lahar dingin, untuk mendapatkan pasir satu bak truk atau delapan meter kubik, dibutuhkan waktu dua hingga tiga jam menambang.

“Namun sejak banjir ini bisa lebih cepat. Menambang setengah jam saja sudah dapat satu truk,” tegas Wahyudin.

Sementara upah dari menambang pasir tersebut, rata-rata Rp 50.000 hingga Rp 60.000 per truk. Sedang harga pasir melonjak hingga Rp 100.000 per meter kubik, padahal hari biasa hanya Rp 75.000 per meter kubik.

dtc/nad

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya