SOLOPOS.COM - WAYANG BOCAH--Salah satu adegan Wayang bocah dari Sanggar Metta Budaya tampil memukau penonton dalam lakon Srikandi Mutastokoweni dalam pentas Wayang Orang seribu Bintang (Wosbi) di Auditorium RRI, Solo, Sabtu (24/9/2011). (JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu)

WAYANG BOCAH--Salah satu adegan Wayang bocah dari Sanggar Metta Budaya tampil memukau penonton dalam lakon Srikandi Mutastokoweni dalam pentas Wayang Orang seribu Bintang (Wosbi) di Auditorium RRI, Solo, Sabtu (24/9/2011). (JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu)

Gelaran Wayang Orang Seribu Bintang (Wosbi) dihelat untuk menyemarakkan hari jadi ke-66 Radio Republik Indonesia (RRI). Sebanyak 12 kelompok wayang orang mengikuti gelaran yang dilangsungkan Jumat-Minggu (23-25/9/2011) di Solo. Eri Maryana dan M Khamdi melaporkannya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dendam tak akan menyelesaikan masalah. Namun dendam selalu ada dalam pribadi manusia. Sejak kecil, Priyamba hidup bersama sang kakek, Purnama Jati. Oleh kakeknya, Priyamba diajarkan hidup untuk saling membantu orang lain.

“Orang pandai tak akan berguna di dunia ini jika ilmunya tidak ditularkan kepada orang lain,” pesan Purnama Jati kepada Priyamba.

Pesan penuh makna itu tergambar dalam pertunjukan Wosbi, di Gedung Sasono Mangunkusuma RRI  Solo, Sabtu (24/9/2011) malam.

Ribuan pengunjung dengan khidmat melihat adegan drama yang diperankan oleh kelompok wayang orang Swarga Loka dari Jakarta. Bahkan pengunjung rela berdesakan melihat pertunjukan wayang orang dari luar gedung melalui layar LCD.

Haris Kaworo, 62, tidak bisa masuk ke gedung tempat dilangsungkannya gelaran itu.

“Walaupun menonton di luar gedung, saya tetap bisa mengikuti ceritanya. Jarang sekali di zaman sekarang ini sosok pemimpin yang bersikap arif dan bijaksana kepada rakyatnya,” tutur Haris, warga Gilingan, Banjarsari, Solo, saat ditemui Espos, di sela-sela pertunjukan, Sabtu (24/9/2011) malam.

Menurut Haris, pertunjukan wayang orang Asmara Dahana Priyambada Mustakawen jika dicermati sebenarnya dapat menggugah kesadaran seseorang pentingnya musyawarah dalam setiap persoalan.

Sutradara Kelompok Wayang Swarga Loka, Irwan Riyadi, mengatakan adegan wayang yang ia tampilkan tidak jauh dari kondisi Indonesia saat ini.

“Kita lihat sendiri, para pemimpin di negeri ini lebih mengedepankan dendam daripada musyawarah. Saling menjegal satu sama lain, hal itu menjadi warisan buruk bagi anak cucu kita,” tuturnya.

Asmara Dahana Priyambada Mustakawen hanyalah salah satu acara dalam rangkaian Wosbi.  Inilah momen kebangkitan wayang orang masa kini. Seperti halnya Haris dan para penonton yang antusias menyaksikan wayang, pertunjukkan seni tradisi itu bagi mereka masih punya magnet luar biasa.

Ketua Panitia Wosbi yang juga pemain wayang orang, Ali Marsudi,  menyebut selain menampilkan pertunjukkan wayang, juga dilangsungkan pameran wayang di lobi RRI dan sarasehan tentang kebangkitan wayang orang di masa kini.

Ali mengharapkan kejayaan wayang orang kembali muncul dan menjadi salah satu alternatif hiburan bagi masyarakat.

“Wayang orang memang sempat surut beberapa tahun belakangan. RRI menangkap fenomena ini kemudian tergeraklah untuk mengadakan pertunjukkan beberapa hari dengan melibatkan banyak  kelompok,” ujarnya.

Pada hari pertama gelaran yakni Jumat (23/9/2011),  tampil empat kelompok wayang orang, di antaranya Sarwi Budaya (Solo), Darma Giri Budaya (Wonogiri), Wayang Orang Sriwedari (Solo) dan Ngestihi Pandawa (Semarang).

Tidak sekadar pertunjukan wayang orang dewasa yang disajikan  pada perhelatan Wosbi, namun juga tampil wayang orang anak-anak dari Sanggar Sarotama (Solo) dan Sanggar Metta Budaya (Solo). Sanggar Sarotama yang membawakan lakon Bimo Bungkus mampu memberikan pencerahan bagi masa depan wayang orang di masa mendatang.

Anak-anak yang rata-rata duduk di bangku SD tersebut bermain peran dengan bahasa polos yang spontan.

“Anak-anak di Sarotama baru kali pertama membawakan repertoar Bimo Bungkus. Biasanya mengusung lakon Cupu Manik Astagina dan Anoman Duta,” kata Pengasuh Sanggar Sarotama, Mujiono SKar.

Menurut Mujiono SKar, acara serupa sempat digelar di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 1996 lalu, dengan acara Wayang Orang Panggung Amatir.

Terkait dengan pertunjukan wayang yang dikemas secara modern atau kontemporer, Mujiono justru senang karena wayang orang terus dikenal dan berkembang.

“Namun anak–anak tetap butuh wayang tradisi yang mengajarkan unggah-ungguh, dengan bahasa yang sopan untuk pembentukan karakter anak. Tidak langsung disuguhi pertunjukan dengan kemasan moderen yang sering menggunakan bahasa vulgar,” lanjutnya.

Pada perhelatan tersebut juga tampil Wayang Swargaloga (Jakarta), Wayang Orang Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Komunitas Seni Tribuana (Surabaya), Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa (Yogyakarta), Wayang Orang Tunas Bharata (Jakarta), dan Wayang Orang Sekar Budaya Nusantara.

Harapan Ali tak berlebihan, Wosbi mampu menghidupkan kembali wayang orang. Akan muncul bintang-bintang muda dalam wayang orang sehingga regenerasi wayang tak putus di tengah jalan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya