SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sesuai namanya, tari Merak memang menggambarkan lenggak lenggok luwes burung merak. Tapi jangan salah sangka, di tarian ini bukan gerak-gerik burung merak betina yang direpresentasikan, tapi burung merak jantan.

Saat dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) oleh siswi Sanggar Tari Kusuma Aji, Tria dan Risky akhir pekan lalu, Sabtu (18/6) tarian ini menampilkan keceriaan. Selendang yang diibaratkan sayap burung merak berkelebat ke sana ke mari. Penuh keceriaan.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

Paduan warna hijau dan emas yang melekat dalam busana mereka, menambah kesan cantik. Menurut penuturan Tejo Sulistyo, pimpinan sanggar Tari Kusuma Aji, pada Harian Jogja, akhir pekan lalu tarian ini dapat diperankan seorang ataupun beberapa orang dengan memakai selendang yang diikatkan di pinggang. Apabila kain tersebut dibentangkan, maka gerakannya menyerupai sayap burung merak.

Di kepala sang penari dipasang mahkota berbentuk kepala burung merak disebut singer. Tarian yang menggambarkan keindahan dan kelincahan gerak-gerik burung merak ini sangat populer di tanah Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Barat sebagai tarian kreasi baru.

Tejo juga menjelaskan kebanyakan orang mengira bahwa Tari Merak bercerita tentang kehidupan dan keceriaan merak betina. Padahal tarian ini berkisah pesona merak jantan, yang dikenal sebagai pesolek untuk menarik hati merak betina.

Merak jantan menampilkan keindahan bulu ekornya yang panjang dan berwarna-warni. Gerak gerik sang jantan seperti yang terlihat dalam tarian merupakan tampilan burung merak yang tengah dibuai asmara, merayu sang betina supaya berkenan untuk melanjutkan perkawinan.

”Biasanya, Tari Merak diundang untuk suguhan hajatan pengantin sebagai tarian persembahan bagi tamu atau menyambut pengantin pria menuju pelaminan,” jelas Tejo.

Luwes
Bercerita soal sanggar tari yang dibinanya, Tejo menuturkan awalnya sanggar tarinya hanya dibuka di rumahnya di Perumahan Jambusari, Jalan Rambutan Jogja pada sekitar 1998. Beberapa tahun berselang, lelaki berusia 54 tahun ini membuat cabang sanggarnya di Klaten.

”Di Klaten banyak sekali regenerasi yang berpotensi membawakan tari gaya Surakarta,” ucap lelaki yang aktif dalam Komunitas Ramayana di Prambanan sejak 1975 ini.

Di Sanggar Kusuma Aji, memang Tejo hanya mengajarkan tarian gaya Surakarta. Baik yang klasik maupun kreasi baru. Meski tinggal di Jogja, Tejo bertekad melestarikan budaya tanah kelahirannya, Solo dan tidak mengajarkan tari gaya Jogja. “Sejak awal saya belajarnya tari gaya Surakarta, jadi lebih nyaman saja,” jelasnya.

Sesungguhnya, lanjut Tejo, tari gaya Surakarta dan Jogja hampir mirip. Hanya saja, tari gaya Surakarta lebih luwes dan romantis. Sementara gaya Jogja lebih tegas, kebanyakan merupakan tarian ksatria dan prajurit.

”Yang belajar tari bukan hanya orang Solo, remaja Jogja juga banyak dan sekarang kalau ditotal semuanya ada sekitar seratus murid,” katanya.

Lantaran memiliki dua sanggar tari yang letaknya berjauhan, lelaki jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja 1984 ini harus bolak-balik Jogja-Klaten untuk melatih para muridnya. Setiap hari Kamis ia mengajar di Jogja, hari Minggu dia seharian di Klaten.

Selain Tari Merak yang dikreasikan dengan gaya khas Surakarta nan luwes, di sanggar ini diajarkan pula Tari Gambyong Parianom, Golek Sri Rejeki, Kuda-kuda, Kukilo dan masih banyak lagi.(Wartawan Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya