SOLOPOS.COM - Petugas BPJS melayani tenaga kerja. (JIBI/Bisnis/Dok)

Harianjogja.com, JOGJA- Sejumlah perusahaan di DIY diindikasi membuat laporan tidak sebenarnya soal data upah buruh mereka. Kondisi tersebut dinilai justru merugikan buruh yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Kepala Bidang (Kabid) Pemasaran BPJS Ketenagakerjaan DIY Aris Daryanto mengatakan, partisipasi perusahaan di DIY mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan secara umum berjalan baik. Meski begitu, pihaknya mencatat ada sejumlah perusahaan yang terindikasi melakukan perubahan data upah karyawannya. Pihaknya pun mengkategorikan perusahaan tersebut dalam daftar sebagian upah yang dilaporkan.

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

“Ya, istilahnya memanipulasi data itu,” kata Aris menjawab pertanyaan Harianjogja.com, Selasa (16/9/2014).

Ekspedisi Mudik 2024

Pemberian perlindungn program BPJS Naker sesuai gaji yang diperoleh tersebut, merupakan amanat UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional daan PP No 109/2013 tentang Penahapan Program Jaminan Sosial. Terkait soal daftar upah di DIY, pihaknya berpegang pada upah minimum kabupaten/kota (UMK). Padahal, bila dihitung take home pay yang diterima karyawan dalam satu perusahaan nilainya lebih tinggi lagi.

“Ini baru upah limit yang kami pegang, bukan termasuk take home pay-nya. K alau termasuk itu, jumlahnya jauh lebih besar lagi,” katanya.

Manipulas data upah tersebut, menurut Direktur Kepesertaan dan Hubungan Antar Lembaga, BPJS Ketenagakerjaan (Naker), Junaedi, justru merugikan karyawan peserta BPJS Naker. Pasalnya, hal itu terkait dengan hak-hak peserta bila menggunakan layanan BPJS.

“Ini masalah hak sebenarnya, kalau laporan gaji dimanipulasi juga berpengaruh pada resiko yang sebenarnya didapat,” kata Junaedi kepada Harian Jogja saat peluncuran program di kawasan Malioboro, Rabu (10/9/2014).

Menurut dia, bila upah buruh Rp1 juta tetapi dilaporkan oleh perusahaan sebesar Rp500.000 maka jika terjadi kecelakan kerja penggantinya hanya Rp500.000. Padahal, haknya Rp1 juta.

“Itu yang merugikan. Oleh karena itu, kami terus eliminasi ini dan mengedukasi pengusaha agar melaporkan sebenarnya. Sebab, ini masalah hak karyawan,” tandasnya.

Dijelaskan Junaedi, potensi kebocoran penerimaan iuran peserta BPJS Naker akibat perilaku negatif tersebut sekitar 20%. Pasalnya, selain memanipulasi daftar upah, perusahaan juga mengubah jumlah daftar karyawan yang dimiliki.

“Misalnya, perusahaan itu memiliki karyawan 5.000 orang tapi yang didaftarkan hanya 1.000. Itu ada yang seperti itu. Jadi seakan-akan masuk BPJS itu hanya untuk memenuhi syarat saja,” tukasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya