SOLOPOS.COM - Ilustrasi membei uang pengemis (JIBI/Harian Jogja/SOLOPOS)

Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu)

SEMARANG – Pemerintah harus lebih serius mengatasi ketimpangan pendapatan penduduk, karena ada kecenderungan terjadinya peningkatan indeks gini dalam dua tahun terakhir ini, kata ekonom Universitas Diponegoro Semarang, Nugroho SBM.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Indeks Gini pada 2010 tercatat 0,38, namun setahun kemudian (2011) melesat menjadi 0,41. Ini berarti mendekati koefisien 0,5 yang berarti ketimpangannya kian tajam,” katanya di Semarang, Kamis. Indeks Gini merupakan indikator tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang ditunjukkan koefisien nol hingga satu (0-1). Semakin tinggi koefisien, kian timpang distribusi pendapatan penduduk.

“Semua lembaga riset dunia dan para ekonom sepakat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2013 bakal di atas enam persen. Namun, pertumbuhan saja tidak cukup bila ketimpangan yang ditunjukkan melalui Indeks Gini tersebut terus meningkat,” katanya. Staf pengajar Fakultas Ekonomi Undip itu mengingatkan, pentingnya pertumbunan ekonomi yang bermutu, yakni pertumbuhan tinggi yang dibarengi dengan pemerataan pendapatan seluruh penduduk.

“Kalau Indeks Gini kita pada 2012 mencapai koefisien 0,5, itu berarti sudah lampu merah. Berbahaya karena bisa menyulut persoalan sosial yang dipicu oleh ketimpangan pendapatan secara ekstrem,” katanya.

Menurut dia, kecenderungan meningkatnya ketimpangan tersebut antara lain disebabkan terkonsentrasinya penguasaan modal dan produksi pada kelompok kecil yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Ia memberi contoh ada segelintir orang Indonesia masuk daftar orang terkaya di muka Bumi ini, namun jutaan penduduk negeri ini masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Nugroho mengatakan, subsidi energi yang menelan anggaran hingga Rp300 triliun selama ini juga lebih banyak dinikmati kalangan mampu. “Seharusnya anggaran sebanyak itu dialihkan untuk program pemerataan atau proyek pengentasan orang miskin,” katanya.

Program populis tersebut sekarang ini memang sudah ada dan berjalan, namun menurut dia, karena alokasi anggarannya sangat terbatas dibandingkan dengan anggaran subsidi energi, maka cakupan orang miskin yang tersentuh program tersebut juga terbatas.

Kebijakan menaikkan batas gaji minimal dua juta rupiah/bulan yang dikenai pajak penghasilan, katanya, merupakan salah satu langkah untuk lebih memeratakan kesejahteraan. Akan tetapi, katanya lagi, masih butuh banyak kebijakan untuk menekan ketimpangan pendapatan tersebut. “Pertumbuhan ekonomi tinggi baru bisa dikatakan berkualitas bila diimbangi dengan pemerataan, bukan malah memperlebar ketimpangan,” katanya.

Mengenai kemungkinan dimasukkannya indeks gini dalam Undang-Undang tentang APBN, menurut Nugroho, secara politik memungkinkan, namun pemerintah tentu tidak mau dianggap melanggar UU gara-gara koefisien Indeks Gini yang ditetapkan tidak sesuai target. “Yang paling mungkin, koefisien capaian Indeks Gini dimasukkan dalam asumsi APBN, seperti angka pertumbuhan ekonomi atau inflasi,” tegas Nugroho.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya