SOLOPOS.COM - Salah seorang petani melon asal Karangmalang, Sragen, menunjukkan buah melonnya yang siap panen. Hasil pertanian jenis holtikultura ini menjadi salah satu andalan Kabupaten Sragen selain padi organiknya. Foto diambil beberapa waktu lalu. (Ika Yuniati/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SRAGEN– Pertanian di Bumi Sukowati, Sragen tak boleh dipandang sebelah mata. Salah satu profil sukses pertanian di Sragen yakni petani melon. Berikut wartawan Solopos.com, Ika Yuniati menuslikan laporannya:

Azan Zuhur terdengar saling bersahutan hingga ke area persawahan Desa Gabus, Kecamatan Ngrampal, Sragen. Hamparan padi yang masih hijau terlihat layu oleh sengatan mentari. Satu per satu, petani yang awalnya khusyuk menyiangi rumput, mulai menyerah.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Mereka berkemas meninggalkan pematang sawah untuk bergegas pulang atau sekadar istirahat sejenak di bawah pepohonan pinggir jalan. Tak terkecuali, Sukiswo, 35. Seiring dengan suara iqomah yang kian melemah, bapak satu anak ini melangkah semakin jauh menuju rumahnya yang hanya berjarak sekitar dua kilometer (km) dari sawah.

Awal pekan ini, Senin (15/9), menjadi hari paling mendebarkan bagi Sukis. Betapa tidak, esok hari, Selasa (16/9/2014), buah melon yang telah ditanam sejak beberapa pekan lalu bakal dipanen. Ia tinggal berdoa agar malam nanti hingga esok menjadi hari keberuntungannya.

Ekspedisi Mudik 2024

Tanaman melon tidak terserang hama atau mengalami kerusakan lain. Jika tidak, buah jenis rock melon yang selama ini digadang-gadang, bakal menjadi boomerang. Ia bisa merugi jutaan rupiah. Seperti yang terjadi beberapa tahun lalu ketika hampir semua tanaman melonnya rusak karena terserang hama secara mendadak.

“Menanam melon itu deg-degan-nya sampai dipanen. Setelah dipanen baru bisa tahu untung rugi. Kalau belum, bahkan sehari sebelum panen pun masih waswas jika terjadi apa-apa,” katanya di tengah perbincangan.

Ini merupakan tahun keempat bagi Sukis. Ia menggandrungi melon dengan buah warna oranye itu sejak 2010 silam karena dianggap pembawa berkah. Berbekal ilmu yang didapatkan dari para saudara, ia bertekad menjadi petani visioner yang tak hanya mengandalkan hidup dari bertanam padi. Melainkan menanam melon dan holtikultura lain yang dianggap sebagian orang berisiko tinggi.

Hasilnya pun memuaskan, baru tiga tahun berjalan, ia telah mampu membeli tanah, merenovasi rumah dan menghidupi keluarga kecilnya dari melon. Kerjasama dengan program kemitraan membuat Sukis tak perlu khawatir terkait modal maupun penjualan produk. Hingga kini, melon berbuah kuning miliknya telah lama nangkring di sejumlah pasar luar negeri.

Pupuk Subsidi
Memanfaatkan pupuk bersubsidi dari Petrokimia Gresik, Sukis, hanya mengeluarkan sedikit modal untuk keuntungan berlipat. Jika stok pupuk bersubsidi habis, ia tak sungkan membeli di toko dengan harga normal.

Setiap kali menanam holtikultura, suami dari Jumini, 31, ini mengaku tak pernah absen menggunakan ZA, SP-36 dan KCL.

Per satu hektar tanaman melon, menghabiskan sebanyak 850 kilogram (kg) ZA, 500 kg SP-36 dan 500 kg KCL untuk memenuhi kebutuhan tanaman dari awal hingga panen. Ketiganya digunakan sebagai bahan utama pemupukan dasar hingga kocoran.

Tak hanya itu, keberhasilan tanaman melonnya juga didukung produk Petrokimia Gresik lain seperti pestisida yang digunakan untuk membasmi hama tanaman.

“Pemupukan dan pemberian pestisida menyesuaikan kondisi tanaman. Misal dalam keadaan tertentu tanaman kelihatan tidak sehat, ya kami akan menambah dosis dan sebaliknya,” terang Sukis.

Mampu Bersaing
Tak hanya Sukis, buah manis dari menanam melon juga dirasakan warga Desa Kedungupit, Sragen, Sulastri Tanjang, 47. Bermodal tanaman melon, perempuan yang mengaku aktif bertani sejak tahun 1998 ini bahkan berhasil membiayai kedua anaknya hingga menjadi TNI serta perawat.

Betapa tidak, pada kondisi normal, ia bisa mendapatkan keuntungan hingga lebih dari 100 persen dalam satu kali tanam. Sebanyak 4.000-an bibit melon biasanya bisa ditanam di lahannya seluas seperempat hektar.

Namun, Sulastri, bukan tak pernah merugi. Pada tahun 2007, usahanya kolaps karena hasil panen tak sesuai target. Tanaman melon yang dibiayai hingga Rp15 juta, hanya terjual sekitar Rp5 juta. Belajar dari pengalaman, ia dan suami kembali bangkit dan semakin berhati-hati dalam mengelola lahan.

Hingga kini, namanya moncer di sekitar Desa Kedungupit sebagai petani sukses dengan penghasilan tinggi. “Setelah merugi tahun 2007, kami berhutang sampai tiga puluh juta untuk memulai usaha lagi. Alhamdulillah sekarang sudah bisa dikembalikan. Sekarang saya dan suami masih sering menanam melon dua hingga tiga kali setahun,” katanya sembari melontarkan senyum.

Sama halnya dengan Sukis dan petani melon lain di Desa Gabus, Sulastri, mengaku hampir semua pupuk yang ia gunakan untuk tanaman melon berasal dari Petrokimia Gresik. Tak hanya pupuk kimia, saat awal penanaman, ia biasanya menggunakan pupuk organik milik Petrokimia Gresik sebagai dasar pengolahan lahan.

Penanaman selanjutnya menggunakan ZA, SP-36 dan KCL sebagai pupuk dasar dan bahan kocoran. ZA berfungsi untuk meningkatkan produksi dan kualitas panen. SP-36 untuk memenuhi kebutuhan unsur hara fosfor bagi tanaman.

Sedangkan KCL diperlukan untuk pemenuhan unsur hara kalsium dan meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan hama, penyakit serta kekeringan. Mengenai takaran, ia menyesuaikan dengan aturan pemupukan yang berimbang. Namun, dalam kondisi tertentu, takarannya bisa ditambah sesuai kebutuhan tanaman.

Mayoritas petani yang tergabung dalam program kemitraan melon Kabupaten Sragen menilai pupuk bersubsidi PT Petrokimia Gresik sangat membantu. Risiko terhadap kerusakan kesuburan tanah pun tak terlalu tinggi.

Lahan pertanian bekas melon masih bisa dimanfaatkan untuk menanam padi sebelum akhirnya digunakan untuk menanam kembali buah berair tersebut. Sehingga, pemerintah dan pihak Petrokimia diharapkan meningkatkan kuota pupuk bersubsidi agar semakin banyak petani yang merasakan kebermanfaatannya.

Kini, cerita tentang keberhasilan petani melon di kota dengan sebutan Bumi Sukowati ini bukan lagi menjadi kisah baru. Sejak lama, para petani melon di wilayah Jawa Tengah, utamanya Sragen dikenal sebagai pemasok melon kualitas ekspor.

Sekretaris Badan Penyuluhan (Bapeluh) Sragen, Muhammad Djazairi, menilai pertanian jenis holtikultura tersebut memang memiliki prospek cukup bagus. Melon produksi para petani Sragen terbukti mampu bersaing di pasaran luar negeri. Khususnya wilayah asia seperti Singapura dan Malaysia.



Beberapa tahun terakhir, permintaan melon ke Singapura mencapai 100 ton per pekan. Namun, jumlah tersebut baru bisa terpenuhi sekitar 80 ton per bulan.

“Ini [melon] memang memiliki prospek bagus. Kalau ekspor itu harusnya melihat kualitas dan kontinuitas. Kami yang belum bisa ialah kontinuitas karena banyak petani yang masih belum konsisten menanam melon,” terang Djazairi yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Agribisnis Melon Indonesia untuk wilayah Jawa Tengah beberapa waktu lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya