SOLOPOS.COM - Darsono, 49, warga Dukuh/Desa Mojokerto RT 013, Kedawung, Sragen, menyunggi tumpukan batang padi, Rabu (13/9/2017). (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Puluhan hektare tanaman padi di Sragen gagal panen karena kekurangan air.

Solopos.com, SRAGEN — Para petani di wilayah Desa Mojokerto, Kecamatan Kedawung, Sragen, harus gigit jari karena puluhan hektare tanaman padi mereka gagal panen gara-gara kehabisan pasokan air irigasi.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Sejak Waduk Botok mengering pada Juli lalu, para petani mengandalkan air irigasi dari Batu Jamus, Kerjo, Karanganyar. Namun, air irigasi dari Batu Jamus juga berhenti mengalir sejak sebulan lalu. Para petani hanya bisa pasrah dan untung-untungan soal nasib panen padi mereka.

Paidi, 60, petani asal Dukuh Gendol RT 008, Mojokerto, terpaksa membabati tanaman padinya yang mengering seluas dua patok atau 6.400 meter persegi. Ia dibantu istri dan sanak saudaranya menumpuk hasil pangkasan tanaman padi di tengah sawah dengan alas plastik bekas sak pupuk.

Tanaman padinya kering karena kekurangan air. Ia hanya bisa mengandalkan hasil dari butiran gabah yang masih utuh.

“Ragate ora karuan [biayanya banyak], pas panennya malah gagal total. Satu patok lagi yang saya panen kemarin hanya dapat gabah mentes tiga sak atau 1,5 kuintal. Padahal setiap panen normal bisa mendapat 2,5 ton. Hasil panen dua patok ini tidak bisa berharap banyak. Saya bisa mendapat 50% saja sudah untung,” keluh Paidi saat berbincang dengan Solopos.com di tengah sawah dengan terik matahari yang menyengat, Rabu (13/9/2017) siang.

Paidi menunjukkan nasib petani lain yang lebih nahas daripada nasibnya. Dia menyebut sawah milik Darno yang juga asal Mojokerto mengering sebelum mengeluarkan bulir padi. Akibatnya Darno tidak bisa panen dan tanaman padinya hanya bisa untuk makanan ternak.

Tanaman padi yang bernasib seperti milik Paidi dan Darno itu mencapai 30 hektare. “Kalau yang gagal panen seperti Darno itu 20 hektare ada di wilayah Desa Mojokerto ini. Kalau yang bisa panen meskipun sedikit hanya sekitar 10 hektare,” ujarnya.

Paidi menyampaikan biaya tanam dan pupuk untuk tanaman padi yang mengering itu mencapai Rp6 jutaan. Biaya itu belum termasuk irigasi, tenaga, dan dan seterusnya. Pada kondisi normal, Paidi bisa menjual gabahnya senilai Rp6 juta-Rp7 juta. Petani seperti Paidi itu merupakan petani spekulatif.

Nasib serupa juga dialami Darsono, 49, warga Dukuh/Desa Mojokerto RT 013, Kedawung, Sragen, saat ditemui Solopos.com secara terpisah. Darsono memangkas tanaman padinya yang mengering dan membawa pulang dengan menggunakan gerobak kecil.

Tanaman padi yang kekurangan air itu dia potong sendiri karena Darsono tidak ingin mengeluarkan biaya untuk upah tenaga. “Ya, nanti dirontokkan di rumah. Lihat ini, setiap helai tanaman padi, gabah yang isi hanya di ujungnya. Saya bisa mendapat hasil 30% saja sudah beja [untung]. Biasanya memang bera. Dulu sebelum tanam itu masih ada hujan dan air masih cukup. Begitu tiba panen air malah langka. Orang ambil air di sungai saja harus bayar,” katanya.

Darsono menyampaikan bagi petani berduit masih bisa mengusahakan panen dengan membeli air. Dia menyebut ada tetangganya yang nekat membeli 27 tangki air hanya untuk mengairi sawahnya supaya bisa panen.

“Kalau petani seperti saya ya hanya bisa pasrah. Kalau beja ya bisa dapat sedikit kalau tidak beja ya hanya bisa gigit jari,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya