SOLOPOS.COM - Ilustrasi Kedelai (Dok/JIBI/Bisnis)

Pertanian Sleman untuk komoditas kedelai tak diminati petani karena harganya rendah

Harianjogja.com, SLEMAN-Lahan pertanian di Sleman sejatinya bisa ditanami kedelai. Namun pengembangannya justru terkendala petani yang tidak berminat menanam komoditas jenis kacang-kacangan ini. Mereka lebih memilih menanam padi atau palawija karena dirasa menghasilkan nilai jual yang tinggi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Jika petani mau menanam kedelai sebenarnya dapat membantu memasok perajin tempe tahu saat harga kedelai impor mahal seperti sekarang. Saat ini, atas dampak melemahnya nilai tukar rupiah yang sudah berada di atas Rp14.000, membuat kedelai impor mahal. Padahal kedelai impor masih menjadi primadona bagi perajin tahu tempe di Indonesia.

Menurut Kabid Tanaman Pangan Dinas Pertanian Perikanan dan Kehutanan (DPPK) Sleman Edi Sriharmanto mengatakan, luas lahan kedelai di Sleman saat ini adalah 125 hektare. Lahan pertanian kedelai terdapat di Desa Sumberharjo, Kecamatan Prambanan. Itupun para petani tidak menanam kedelai sepanjang musim kemarau. “Hanya Mei sampai Juni saja,” kata Edi, Jumat (28/8/2015).

Ia tak memungkiri bahwa alasan utama petani tidak berminat menanam padi dikarenakan nilai jual. Selain itu juga hasil pertaniannya yang tidak maksimal seperti padi. Dia menghitung, dalam satu hektare lahan kedelai hanya mampu menghasilkan 1,6 ton. Lain dengan padi yang bisa mencapai lima hingga enam ton gabah.

Edi mengatakan, kedelai cocok ditanam di daerah subtropis seperti Amerika. “Kalau Indonesia kan tropis,” kata dia. Kualitas kedelai lokal juga masih dibawah kedelai impor. Salah satu kekurangan yang tampak adalah dari ukuran butiran kedelai. Kedelai lokal lebih kecil sementara kedelai lokal besar dan padat.

DPPK mencatat, ada penurunan jumlah lahan pertanian kedelai dari tahun kemarin dengan sekarang. Tahun lalu, produktivitas kedelai lokal adalah 530 ton dari luas lahan 263 hektare. Tahun ini luasannya tinggal 125 hektare dengan perkiraan panenan 200 ton.

Sementara itu, Ketua Primer Koperasi Produsen Tempe dan Tahu (Primkopti) Sleman Yulianto mengatakan, ada 10% perajin tempe tahu Sleman yang memanfaatkan kedelai lokal.

“Ada 200 anggota dan 10 persennya pakai kedelai lokal. Sisanya [90%] pakai impor karena pasokannya lebih banyak dibanding lokal” kata dia.

Dalam kondisi harga kedelai yang mulai merangkak naik mendekati angka Rp8.000 per kilogram dari sebelumnya Rp7.000, para perajin baru berani melakukan rekayasa ukuran tempe tahu.

Mereka memperkecil ukuran dari biasanya agar tidak mengalami kerugian besar. Yulianto mengatakan, jika pada titik tertentu harga kedelai semakin mahal, perajin bisa melakukan rekayasa harga, seperti dengan menaikkan harganya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya