SOLOPOS.COM - Petani Demak memanfaatkan air sumur untuk mengairi tanaman, Jumat (3/7/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Aditya Pradana Putra)

Pertanian Gunungkidul tergantung ketersediaan air

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL – Ketersediaan air sangat berpengaruh terhadap luasan tanaman pertanian di Gunungkidul. Di musim kemarau saat ini, luas lahan pertanian yang ada menyusut drastis, jika dibandingkan saat musim penghujan.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Saat ini area lahan yang ditanami padi hanya seluas 339 hektare (ha). Sementara di musim tanam pertama dan kedua (musim penghujan) cakupan lahan pertanian mencapai 7.455 ha.

Bagian Data Statistik Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Warto mengakui, luas lahan pertanian di Gunungkidul sangat bergantung dengan ketersediaan air. Pasalnya mayoritas lahan yang ada merupakan lahan dengan sistem sawah tadah hujan.

“Bedanya akan terlihat pergantian musim. Saat kemarau seperti ini banyak lahan yang dibiarkan mangkrak sambil menunggu datangnya musim hujan,” kata Warto saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (29/10/2015).

Dia menjelaskan, puncak musim tanam di Gunungkidul terjadi saat musim tanam pertama. Selanjutnya saat memasuki masa tanam kedua atau saat musim kering, maka cakupan lahan pertanian akan mengalami penyusutan.

“Masalah ini lazim terjadi di sini. Saat kemarau, hanya beberapa kecamatan saja yang tetap bisa ditanami padi. Contoh ini bisa kita lihat di Kecamatan Ponjong,” ujarnya.

Diakuinya musim kering tahun ini lebih parah ketimbang yang terjadi di tahun lalu. Hal ini bisa dilihat dari cakupan lahan yang masih bisa ditanami padi. Tahun lalu, cakupan lahannya seluas 678 hektare, sedang di tahun ini hanya seluas 399 hektare.

“Kemungkinan ini terjadi, karena pengaruh kemarau yang sangat panjang,” katanya lagi.

Disinggung mengenai upaya pencegahan, Warto mengakui jika DTPH tidak memiliki program khusus. Dia berdalih, meski saat ini sedikit berimbas karena faktor cuaca, pola tanam yang ada sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Gunungkidul.

“Upaya peningkatan hasil produksi, hanya bisa dilakukan saat musim penghujan. Cara-cara intensifikasi atau ekstensifikasi pertanian tidak bisa berjalan, saat musim kemarau dikarenakan minimnya ketersediaan air,” tutur dia.

Sementara itu, Kepala DTPH Gunungkidul Azman Latif mengatakan, potensi tanaman padi di Gunungkidul tidak hanya bergantung di lahan persawahah. Selama ini masyarakat juga menanam padi di lahan kering. Malahan produksi gabah yang dihasilkan di atas rataan produksi secara nasional.

Setiap hektare lahan kering di Gunungkidul bisa menghasilkan gabah 4,5 ton. Sementara untuk produktivitas nasional hanya sebesar 4,2 ton saja.

Menurut Azman, tingginya produksi gabah di lahan kering tersebut tidak lepas dari pola tanam dan jenis padi yang dikembangkan oleh para petani. Jenis padi siherang yang sebenarnya tanaman untuk lahan basah sangat cocok dikembangkan di lahan kering sehingga hasilnya pun bisa maksimal. “Sebenarnya jenis padi ini cocoknya di persawahan, tapi faktanya saat ditanam di lahan kering hasilnya tidak kalah dengan proses penanaman di lahan yang banyak air,” kata Azman beberapa waktu lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya