Pertanian Bantul untuk luas lahan tembakau mengalami penurunan
Harianjogja.com, BANTUL — Dalam setahun terakhir luas lahan tembakau di Bantul mengalami penurunan hingga 200 hektar lebih. Dari yang semula sekitar 400 hektar kini hanya tersisa sekitar 200 hektar.
Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda
Diakui sendiri oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dipertahut) Bantul Pulung Haryadi. Kepada wartawan di sela acara Penyerahan Sertifikasi Lahan Tembakau Desa Selopamioro, Kamis (22/9/2016) di Balai Desa Selopamioro, ia membenarkan adanya tren penyusutan tersebut.
Bahkan untuk tahun depan, pihaknya memperkirakan penyusutan itu tetap akan terjadi.
Dijelaskannya, para petani kini memang sangat berhati-hati dalam menanam tembakau. Pasalnya anomali cuaca selama setahun terakhir praktis kerap membuat mereka merugi.
“Produksi mereka pun mengalami penurunan. Kini setidaknya 9-10 kuintal per hektar rajang kering,” ujarnya.
Dikatakannya, produksi tembakau di Bantul memang didominasi oleh lahan di Selopamioro. Itulah sebabnya, pihaknya menggalakkan upaya sertifikasi lahan tembakau. Melalui sertifikasi tersebut, pemilik lahan memang dilarang mengalihfungsikan lahan setidaknya hingga 10 tahun. Dengan begitu, ia berharap ketersediaan lahan produktif bisa tetap terjaga.
Sejauh ini, dari total sekitar 400 hektar lahan tembakau yang ada di Bantul, memang baru 300 bidang saja yang sudah tersertifikasi. Sementara di Selopamioro sendiri, total sudah ada 192 bidang tanah yang sudah tersertifikasi.
“Karena kuota kami memang 100 bidang per tahunnya. Anggaran sertifikasi itu kami ambilkan dari pos anggaran DBH-CHT [Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau],” tegas Pulung.
Hujan Jadi Persoalan
Dibenarkan oleh Warno, salah satu petani tembakau asal Dusun Lanteng II, Desa Selopamioro. Ia mengaku, setahun terakhir, produksi tembakau di area Selopamioro memang tengah merosot. Hujan yang nyaris turun sepanjang tahun membuat tembakau sulit tumbuh subur.
Bahkan dari total seluruh lahan tembakau yang ada di Selopamioro, kini tak lebih dari 15% saja lahan yang tanaman tembakaunya masih bisa tumbuh dengan baik. Dari beberapa dusun, tercatat hanya di Dusun Kalidadap saja yang tanaman tembakaunya masih bisa tumbuh. Selebihnya, kondisi tanaman tampak layu lantaran terlalu banyak mengandung air akibat curah hujan yang tak teratur.
Beruntung, kondisi itu kini tengah berbanding terbalik dengan harga jual tembakau rajang kering. Jika sebelumnya harga jual tembakau rajang kering tak lebih dari Rp50.000 per kilogram, kali ini hargaya sudah bisa berkisar antara Rp80.000-Rp150.000 per kilogram untuk tembakau dengan kualitas terbaik.
Hanya saja, berbeda dengan tembakau dari Temanggung dan Wonosobo, jenis tembakau yang ditanam di Selopamioro merupakan tembakau jenis lokal yang kerap disebut tembakau Siluk. Berbeda dengan tembakau Temanggung dan Wonosobo yang lebih banyak dipakai pabrikan sebagai bahan utama, tembakau Siluk hanya dipakai sebagai campuran dari beberapa pabrikan saja. Selebihnya, hasil panen mereka jual di pasar-pasar tradisional dalam bentuk rajangan kering.
“Tapi dengan kondisi seperti ini, bisa kami pastikan tembakau akan sulit di bulan depan. Tak heran kalau harganya akan sangat mahal,” katanya.