SOLOPOS.COM - Seorang petani melintas di tengah lahan bawang merah di Dusun Ngepet, Srigading, Sanden, Bantul yang telah dipasang selang plastik berlubang. Plastik berlubang menyemprotkan air seperti kabut untuk menyirami tanaman. (Bhekti Suryani/JIBI/Harian Jogja)

Petani di Desa Srigading, Sanden, Bantul mengembangkan teknologi yang disebut irigasi kabut.

 

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Harianjogja.com, BANTUL– Petani di Desa Srigading, Sanden, Bantul mengembangkan teknologi yang disebut irigasi kabut. Teknologi ini membantu menyirami bawang merah lahan pasir yang sulit tumbuh karena sedikitnya air dan kencangnya terpaan angin laut yang mengandung garam.

Ombak pesisir selatan terdengar bergemuruh dari sebuah ladang bawang di Dusun Ngepet, Srigading, Sanden, Bantul. Jarak ladang dan pantai tak sampai 700 meter. Keduanya hanya dipisahkan rimbun pohon cemara udang.

Ekspedisi Mudik 2024

Di lahan berpasir itu, daun bawang merah nan hijau menghampar luas, bergoyang-goyang mengikuti embusan bayu. Selasa (8/8/2017) siang, temperatur mencapai 30 derajat Celcius.

Panas terik dan angin kencang yang membawa garam dari laut bukan gangguan bagi tanaman di lahan seluas 1,3 hektare itu. Daun bawang tak latu, kering, lalu mati. Sayur mayur itu justru tumbuh subur dan menghasilkan bawang panen sepuluh ton bawang per hektare. Jumlah itu melebihi produksi bawang merah di lahan pasir lainnya yang rata-rata hanya tujuh ton per hektare.

Sekelompok petani lahan pasir bekerja keras selama dua tahun belakangan untuk memastikan bawang tumbuh subur di lahan pasir yang semula menganggur tak ditanami.

Tanaman hortikultura secara alami sukar bertahan hidup di lahan pasir dekat pantai dengan suhu mencapai hingga 30 derajat celsius. Tanaman akan mudah kisut karena suhu terlalu panas. Cara untuk mengatasi problem itu adalah mengairi lahan secara berkala untuk menjaga kelembapan tanaman serta membersihkan jamur yang tumbuh akibat terpapar angin garam.

“Sejak 2015 kami berkali-kali mencoba agar tanaman bisa tumbuh di sini. Awalnya dengan mulsa [plastik penutup tanaman untuk menjaga kelembapan tanaman] tetapi gagal. Lalu kami coba pakai sprinkler [keran penyemprot air] juga gagal,” tutur Sumarno, Ketua Kelompok Tani Pasir Makmur di Dusun Ngepet, Srigading, Sanden, kala mengenang masa coba-coba yang kurang sukses.

Pilihan jatuh pada teknologi yang mereka namai irigasi kabut. Sumarno dan rekan-rekannya di Pasir Makmur belajar secara autodidak untuk mengembangkan metode ini. Mereka belajar dari teknik penyiraman menggunakan penyemprot yang terlalu boros air dan tenaga.

Akhirnya, petani di Srigading mencoba teknik yang lazim dipakai dalam pengairan kepala sawit, yakni penggunaan plastik berlubang yang mampu memercikkan air dalam jumlah sedikit namun terus menerus.

Dengan sistem ini, petani memasang plastik mirip selang di setiap jalur bedeng tanaman. Plastik itu memiliki lubang-lubang kecil yang dapat mengembang dan menyemprotkan benda cair baik air maupun pestisida cair. Air yang keluar dari lubang-lubang kecil itu berbentuk seperti kabut sehingga dinamai irigasi kabut. Sejak 2017, sistem ini dikembangkan secara efektif.

“Kami hanya perlu memompa air dari sumur, lalu dialirkan ke paralon dulu sebelum disambungkan ke selang plastik ini,” tutur Edi Santoso, petani yang jadi anggota Pasir Makmur.

Selang plastik berlubang itu ditempatkan di antara gundukan-gundukan tanah. Banyak keuntungan yang diperoleh petani dengan sistem irigasi kabut ini. Sistem ini memangkas penggunaan air hingga 60%. Selama ini, bawang disiram menggunakan selang yang digerakkan tenaga manusia.

Kini, petani cukup menghidupkan pompa air untuk mengalirkan air ke plastik berlubang. Dengan sendirinya, seluruh tanaman dialiri air yang keluar dari lubang seperti kabut.

Tanaman juga basah secara merata, karena selang plastik telah diletakkan di setiap sela-sela tanggul. “Kalau menyiram tanaman menggunakan penyemport, airnya sering kebanyakan sehingga tanah pasir ini mbleber [pasir hanyut terbawa air],” ujar Edi.

Tak hanya hemat air, teknologi irigasi kabut juga irit tenaga manusia. Hanya butuh tenaga satu orang dewasa untuk menyirami satu hektare lahan, padahal dengan metode penyemprotan yang lebih konvensional, tenaga penyiram tanaman satu hektare bisa sampai sepuluh orang.

Tatkala air sudah mengalir, petani dapat mengerjakan pekerjaan lainnya tanpa harus menunggu semua lahan basah. Bawang-bawang di lahan pasir harus disirami dua kali sehari, 15 menit pada pagi dan setengah jam saat sore.

“Kalau memakai tenaga manual, penyiraman bisa sampai satu jam tiap pagi dan sore, jadi lebih boros bahan bakar,” kata dia.

Petani juga memperoleh segudang manfaat lainnya. “Hama tanaman penyakit enggak bisa bertahan karena tanaman berkabut seperti ini. Jamur yang biasanya tumbuh karena adanya garam dari laut juga tidak muncul. Pada pagi hari, jamur itu hilang setelah tanaman disiram,” ucap Sumarno.

Saat ini, terdapat 1,3 hektare lahan bawang yang telah memanfaatkan irigasi kabut. Satu hektare mendapat bantuan dari Bank Indonesia (BI) DIY berupa pengadaan selang irigasi kabut serta mesin air.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya