SOLOPOS.COM - Ilustrasi Pungli (Dok/JIBI/Solopos)

Pertanahan Boyolali, Apdesi menyebut perangkat desa menjadi korban Prona karena payung hukumnya tidak jelas.

Solopos.com, BOYOLALI — Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Jawa Tengah (Jateng) menilai perangkat desa telah menjadi korban Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hal itu lantaran program tersebut tak memberikan kewenangan kepada perangkat desa untuk memungut biaya-biaya teknis yang tak ditanggung Prona. Ketua DPD Apdesi Jateng, Agung Heri Susanto, menjelaskan semangat Prona sebenarnya sangat mulia.

Sayangnya, kata dia, program itu tak menjangkau masalah-masalah teknis di lapangan. Akibatnya, ketika perangkat desa menjadi pelayan warganya dalam mengurus Prona, mereka berada di wilayah abu-abu yang rentan terjebak masalah hukum.

“Mestinya, perangkat desa diberi kewenangan mengambil keputusan terkait biaya teknis yang tak ditanggung Prona. Kalau tak ada kewenangan, perangkat desa bisa dianggap mengambil keputusan tanpa payung hukum,” jelasnya kepada Solopos.com, Kamis (27/7/2017).

Seperti diketahui, kasus dugaan pungli Prona menyeret perangkat Desa Wonosegoro, Boyolali. Polda Jateng sempat memanggil perangkat desa setempat setelah menerima laporan ada warga yang dikenai biaya Rp600.000-Rp750.000 atas pengurusan sertifikat tanah gratis itu.

Atas kasus tersebut, Agung menilai dugaan pungli itu terkait pungutan yang tak ditanggung prona. Sejumlah biaya yang tak ditanggung prona itu antara lain biaya pembelian patok, materai, fotokopi, mendatangkan saksi-saksi, dan biaya-biaya lainnya sebelum memasuki sertifikasi tanah.

“Padahal, biaya-biaya itu riil ada saat pengurusan sertifikat tanah yang belum sepenuhnya atas nama sendiri. Kalau sudah atas nama sendiri, ya memang gratis pengurusan serifikatnya,” jelasnya.

Agung mendesak pemerintah mengeluarkan surat setingkat menteri. Isinya berupa pelimpahan kewenangan kepada perangkat desa untuk memungut biaya-biaya teknis yang tak ditanggung pemerintah dalam program Prona.

“Biaya teknis itu harus dijelaskan apa diambilkan dari APB desa atau swadaya dari pemohon. Surat itu harus menjelaskan dari mana pembiayaannya. Jangan seperti ini, enggak jelas! Ujung-ujungnya perangkat desa jadi korban,” tegasnya.

Agung yakin perangkat desa sangat antusias melayani warganya yang ikut program pengurusan tanah gratis. Meski demikian, mereka juga harus mendapatkan payung hukum agar tak dituding melakukan pungli.

Sementara itu, Ketua DPC Apdesi Boyolali, Sugeng, meminta perangkat desa menunjuk tim yang mengurusi program prona. Dengan begitu tak ada tudingan-tudingan miring yang dialamatkan kepada perangkat desa.

“Saran saya, perangkat desa jangan menangani prona sendiri. Serahkan kepada tim dari masyarakat. Agar kasus tudingan pungli tak menjerat perangkat desa lagi,” jelasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya