SOLOPOS.COM - Mariyana Ricky PD (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Sejumlah kota besar di Pulau Jawa menjadi basis warung Madura 24 jam. Warung ini muncul di kawasan padat penduduk hingga menjadi pesaing minimarket waralaba. Kemunculan warung-warung tersebut tak lepas dari migrasi yang jamak dilakukan masyarakat Madura.

Warung Madura 24 jam menjual berbagai barang kebutuhan rumah tangga, layaknya minimarket, namun harganya lebih murah karena berbentuk warung kelontong. Beberapa di antara warung Madura itu dilengkapi stasiun misi pengisian bahan bakar umum di depannya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Rentengan snack, sabun, dan aneka barang digantung di rak kaca yang juga berisi aneka barang kebutuhan harian. Kulkas di pojok sebelah kiri, rak pendingin es krim di sebelah kanan, deretan air minum dalam kemasan galon melengkapi dagangan.

Barang jualan meluber hingga emper warung yang tak mungkin tiap warung ditutup harus dimasukkan dan esoknya dikeluarkan kembali. Hal itulah yang mengharuskan mereka membuka warung 24 jam, sama seperti apotek dan minimarket.

Ekspedisi Mudik 2024

Di tengah perkembangan masif minimarket yang kadang saling berhadapan, warung Madura bertahan dengan ketradisionalan. Etos kerja tinggi, termasuk filosofi abantal omba asapo angin, yang artinya berbantal ombak dan berselimut angin alias berani dalam hal apa pun, menjadi faktor pendorong ketangguhan mereka.

Lembaga Analis Risiko dan Penyelesaian Politik berbasis di Kota Jogja, Pares, bersama Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, membahas eksistensi warung Madura 24 dalam program Insight Indonesia, Kamis (19/5/2022).

Dalam tayangan berjudul Rahasia di Balik Warung Madura 24 Jam itu Pares membahas fenomena warung Madura 24 jam yang menjamur. Fenomena itu tak lepas dari kebiasaan migrasi orang Madura.

Warsono dalam tesis di Program Pascasarjana Universitas Indonesia berjudul Strategi Adaptif Migran Madura di Surabaya bagi Golongan Kenek (1992) menyebut fenomena migrasi yang dilakukan orang Madura berlangsung sejak beberapa abad lalu.

Sejak zaman penjajahan masyarakat Madura dikenal sebagai perantau (migran) ke berbagai daerah di Indonesia. De Jonge dalam buku berjudul Madura dalam Empat Zaman, Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam (Gramedia Pustaka Utama, 1989) menjelaskan hampir 2,5 juta orang Madura pada 1930 bertempat tinggal di Jawa Timur.

Pola Afiliasi

Sedangkan Suhanadji dalam Migrasi dan Adaptasi Orang Madura di Surabaya (1998) menyebut orang Madura meninggalkan tanah kelahiran mereka sejak awal abad ke-19, terutama ke wilayah Jawa Timur.

Pola afiliasi menjadi ciri migrasi yang dilakukan orang Madura, yakni melalui ikatan kekerabatan yang didukung akses informasi dan ekonomi. Faktor geologis Pulau Madura yang kurang menguntungkan untuk mengembangkan usaha pertanian menjadi salah satu faktor kuat orang Madura bermigrasi ke daerah lain yang dianggap dapat meningkatkan taraf kehidupan ekonomi keluarga.

Kondisi Pulau Madura yang gersang dan kering menjadi pendukung motif ekonomi untuk bermigrasi. Dalam perkembangannya, migrasi orang Madura menunjukkan gejala yang bersifat cultural. Bahwa migrasi menjadi pola kebiasaan yang setiap hari terus mengalir melalui relasi, famili, teman dekat, maupun kerabat sekampung.

Pemilik warung kelontong Madura 24 jam di Kota Jogja, Achmad Syaifullah, dalam program Insight Indonesia itu membenarkan hasil penelitian itu. Dia menyebut faktor utama yang membuat orang Madura merantau adalah uang, kekurangan di daerah sendiri, kesulitan mencari nafkah, dan lowongan pekerjaan yang minim.

Perputaran uang di kampung halaman sangat stagnan. Orang-orang yang minim modal atau orang-orang yang tidak disubsidi orang tua atau mertua ini akan susah melakukan lompatan-lompatan ekonomi. Achmad mengatakan Pulau Madura memiliki tambang garam yang besar dan salah satu penghasil tembakau terbaik di Indonesia.

Dua komoditas tersebut masuk dalam kategori pasar monolistik. Pembelinya satu, penjualnya banyak. Pasar seperti ini sangat tidak sedap dipandang. Alih-alih mendapatkan kesejahteraan, masyarakat malah  sengsara.

Di tanah rantau, mereka bisa memiliki pekerjaan baru, seperti tukang cukur, penjual satai, pengumpul besi rongsokan, penjual bubur kacang hijau, dan yang terbaru adalah membuka warung kelontong 24 jam.

Achmad mengatakan rasa persaudaraan yang tinggi antarperantau Madura membuat mereka sama-sama bisa berhasil di perantauan. Saling mendukung adalah kredo orang-orang Madura di perantauan. Ia pernah mendapatkan permintaan bantuan dari sesama perantau Madura yang tinggal di Jakarta yang ingin pindah ke Jogja.

Temannya itu minta dicarikan tempat agar bisa membuka usaha. Sesama orang Madura akan membantu pinjaman modal, mencarikan kios, menjamin utang barang di agen, dan sebagainya. Prinsip dasarnya adalah tidak tega melaihat saudara sedaerah membuka warung dan berpindah-pindah lokasi tetapi omzet tidak menggembirakan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 September 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya