SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

William E Aipipidely, Konsultan CSR, LSM dan pendiri Komunitas Inovasi Sosial Mannadoa

Di tengah banyaknya persoalan pelik seputar politik, ekonomi, sosial dan budaya, harapan publik untuk melihat adanya perubahan, ketenteraman dan kepastian di semua ranah itu merupakan keniscayaan. Apakah pers adalah aktor yang dapat memuaskan harapan itu? Mungkinkah pers menjawab kegalauan publik? Bagaimana pers mengambil peran menjaga pluralitas sebagai identitas bangsa dan menghargai hak-hak dasar warga?
Pada Hari Pers Nasional 2011, Presiden SBY berkantor di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), sekaligus mengadakan kunjungan kerja ke perbatasan Indonesia-Timor Leste di Atambua, Kabupaten Belu, NTT. SBY ingin melihat secara langsung persoalan pembangunan di daerah ini yang selama beberapa tahun tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Pada waktu lain, sepanjang 2011, bahkan mengawali 2012, SBY juga sering berkhotbah via press conference bertema tentang menghentikan kekerasan, menghargai pluralisme, setop korupsi dan melindungi hak-hak warga negara.
Faktanya, selama dua kali periode kepemimpinannya, litani kekerasan yang berbasis sektarian dan pengabaian hak-hak dasar warga negara bukan makin surut, melainkan eskalasinya terus menghadirkan ketakutan dan keprihatinan. Sejatinya, fakta ini menarasikan pembangunan yang mandul.
Konon, masalah pembangunan erat kaitannya dengan distribusi informasi. Amartya Kumar Sen, peraih nobel bidang ekonomi  pada 1998, dalam bukunya Development as Freedom menyatakan bahwa pembangunan identik dengan kebebasan mendapatkan informasi. Pers yang bebas ikut menentukan wajah pembangunan sebuah negara. Sen membuktikan, pada beberapa riset yang ia lakukan, bahwa bencana kelaparan lebih banyak ditentukan oleh sistem administrasi dan distribusi pangan, ketimbang kelangkaan pangan atau gagal panen.
Artinya, informasi amat sentral dalam mendorong  gerak laju pembangunan. Riset lain juga mencatat ada relasi keterkaitan antara keterbukaan informasi publik dengan wajah kekerasan komunal. Demonstrasi buruh yang banyak berakhir dengan kekerasan ditengarai bersumber pada tersumbatnya komunikasi tripartit: buruh, pemilik modal dan pemerintah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dua Wajah Pers
Kalau berbicara soal tersumbatnya informasi bagi publik, tentu pers tak bisa lepas tangan begitu saja. Ia bisa menjadi inisiator terbukanya informasi. Namun, hal inilah yang sesungguhnya menjadi problem pers kita. Sejatinya, pers mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat. Pers harus hadir untuk memperkuat tranparansi, akuntabilitas dan responsibilitas lembaga publik bagi masyarakat seperti pesan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Pers juga dapat memperkuat identitas-identitas budaya lokal agar memperkuat wajah bangsa yang plural. Pers seharusnya menjadi panglima yang menjaga kewilayahan teritorial melalui liputan-liputan yang mengangkat problem-problem masyarakat di daerah-daerah perbatasan, seperti di Atambua, Sangir, Pulau Kisar dan beberapa daerah lainnya. Namun, kenyataannya wajah pers kita lebih banyak didominasi dengan kepentingan komersial yang sering kali mengkhianati etika pers itu sendiri.
Dua sisi wajah pers ini akan terus berkelindan. Bagaimana agar pada Hari Pers Nasonal ini, kegalauan wajah pers kita tak lagi muram? Beberapa survei publik memuat kecenderungan pemberitaan media massa lebih berorientasi pada kepentingan komersial media daripada  untuk kepentingan masyarakat. Memang sulit bagi pers menjaga ayunan bandul fungsi sosialnya sembari mengelola fungsi ekonomi untuk mempertahankan keberlanjutan organisasinya.
Artinya, ayunan ini menegaskan pers kita harus terus memperkuat diri, memperbaiki diri dan mengubah dirinya sebagai pers yang lahir untuk kepentingan masyarakat sembari memelihara sustainability organisasi  agar sehat dan berdaya guna.  Pers juga harus menampakan wajah kebudayaan yang beretika. Liputan-liputan yang mengandung sensasi pada saat bencana alam sebisa mungkin dihilangkan dalam pemberitaan. Walaupun demikian, kita perlu mengapresiasi kerja-kerja pers yang terus mendukung perbaikan tata kelola penyelenggaraan negara, pemberantasan korupsi, kualitas pendidikan dan isu-isu dasar lainnya. Publik juga masih memberikan kepercayaan yang tinggi pada insan pers. Ini menjadi modal sosial yang cukup untuk kiprah pers ke depan.

Identitas
Pada beberapa tahun belakangan ini, identitas pluralitas menjadi ancaman tersendiri. Perbedaan selalu disikapi dengan kekerasan. Jurnalisme perdamaian harus terus diproduksi. Di lain pihak, di  sejumlah daerah perbatasan kerap muncul aneka pemberitaan yang membuat kita miris. Beberapa fakta yang terpapar seperti menukar kewarganegaraan karena alasan tak adanya fasilitas kesehatan dan pendidikan di perbatasan Indonesia-Malaysia misalnya.
Di pulau-pulau terluar, kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat adalah barang yang amat mahal. Kesehatan ibu dan anak, akses air bersih, pendidikan yang terjangkau masih merupakan mimpi. Jika fakta-fakta ini dibiarkan, bukan tidak mungkin wajah lokalitas yang membikin miris itu, seperti yang terefleksi di sejumlah daerah perbatasan, akan menjadi identitas bangsa.
Pada saat yang sama, mengutip pemikiran Meth Kusumahadi, Direktur Eksekutif Karinakas, nilai-nilai lokal yang telah terbukti memberikan keselarasan, ayem tentrem, kuatnya pluralitas, ingin diberangus. Pers ikut menentukan warna identitas kita! JIBI/Harian Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya