SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO–Perpisahan jamak menyajikan dua hal. Pertama, kesedihan karena kehilangan, karena tidak bersama lagi, karena kemungkinan besar tak bisa bersua lagi. Kebersamaan yang telah membuahkan banyak kebaikan, bagi pribadi masing-masing maupun secara bersama-sama, harus berakhir karena perpisahan.

Kedua, kegembiraan karena terbuka jalan menapaki lanskap yang baru, muncul tuntutan dan tantangan baru di lokasi lain dan bersama yang lain, yang tentu membangkitkan gairah baru untuk berkarya. Dalam kesan pertama jamak kesedihan yang mengemuka dalam sebuah perpisahan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Salah satu perpisahan yang paling membekas di benak saya, sampai saat ini, adalah saat saya kehilangan seekor anjing jantan yang saya piara bersama adik saya, laki-laki, kala kami masih usia sekolah dasar. Wajah dan bentuk badan anjing itu sampai kini masih sangat jelas di ingatan saya.

Anjing yang saya beri nama Doni itu tipe anjing kampung, anjing lokal Jawa, tapi berbadan besar, tinggi, kukuh. Saya dan adik saya kala itu ketika iseng sering bergantian naik di punggung Doni, seperti naik punggung kerbau.

Tiap sore kami memandikan Doni dengan guyuran air sumur yang dingin tapi segar khas alam kaki Gunung Merapi. Bertahun-tahun Doni menjadi teman dan sahabat kami. Hingga suatu hari dia tak pulang.

Biasanya ketika kami teriakkan namanya di halaman rumah, hanya dalam hitungan menit dia datang dengan berlari kencang dan kemudian menubruk kaki kami sambil mengibas-kibaskan ekornya yang berbulu sangat lebat.

Sepekan hal itu kami lakukan dengan penuh rasa kehilangan. Pada hari kedelapan kami mendapat kabar Doni hilang karena ditangkap rombongan laki-laki yang biasa mencuri anjing untuk dijual kepada pedagang kuliner berbasis daging anjing. Kesedihan karena berpisah dengan Doni masih membekas sampai kini.

Saya tak berani lagi memelihara anjing, takut merasakan kesedihan sangat dalam karena berpisah dengannya. Secara sosial kultural, lingkungan tempat tinggal saya saat ini juga tak mendukung hasrat memelihara anjing. Bisa jadi biang keributan skala besar.

Kini ketika saya telaah lebih dalam, berpisah dengan Doni sebenarnya keniscayaan. Dia hilang lalu dibunuh sindikat kuliner berbasis daging anjing hanyalah satu dari 1.000 kemungkinan “hukum alam” memisahkan kami dengan Doni.

Kegembiraan apa yang saya peroleh dari perpisahan dengan Doni? Saya membayangkan berpisah dengan Doni secara alamiah. Dia mati dan saya menguburkan. Saya membayangka kesedihan saya bisa jadi 10 kali lipat kesedihan ketika kehilangan Doni karena perbuatan sindikat kuliner berbasis daging anjing.

Seluruh segi kehidupan kita sesungguhnya akan bertemu dengan perpisahan, dengan selesai. Giat bekerja akan bertemu dengan perpisahan saat mengundurkan diri, pensiun, kena pemutusan hubungan kerja, dipecat karena ketahuan berbuat salah, dan sebagainya.

Belajar di lembaga pendidikan formal juga akan bertemu dengan perpisahan saat lulus. Relasi emosional manusia dalam berbagai bentuk juga pasti bertemu dengan perpisahan. Sepasang suami istri yang sangat berbahagia dan saling mencintai pasti akan bertemu dengan perpisahan ketika salah seorang meninggal dunia lebih dulu.

Memahami perpisahan sebagai keniscayaan adalah pangkal kegembiraan menjalani semua jalan dan bagian kehidupan sesuai jatah kita masing-masing. Tentu saja, sesuai paragraf awal esai saya ini, perpisahan selalu jamak berkelindan dengan kesedihan, kekecewaan, bahkan kadang kala sampai hampir putus asa.

Itu juga wajar. Alamiah. Perpisahan akan membawa pada kegembiraan ketika laku dan tahapan-tahapan yang menyedihkan, mengecewakan, bahkan membuat hampir putus asa itu bisa dilalui. Tentu berlalunya bisa dalam waktu singkat atau butuh waktu lama, bahkan sangat lama.

Saya pernah merasakan sakit hati kepada seseorang selama 13 tahun. Inilah dampak perpisahan karena perbedaan prinsip dan pilihan yang memunculkan rasa kecewa, sedih, dan benci. Pada tahun ke-14, kawan saya itu menghubungi saya setelah menemukan nomor telepon saya di media sosial.

Begitu dia menelepon saya, hilanglah semua persoalan. Kurang lebih 10 tahun terakhir kami bersahabat sangat erat. Harapan kami, ya, persahabatan tulus kami akan sampai pada perpisahan ketika salah satu di antara kami meninggal dunia lebih dulu. Kesedihan dulu saat perpisahan telah terhapus dengan pertemuan baru yang sebenarnya juga menunggu perpisahan.

Resiliensi

Dalam romansa, perpisahan juga wajar. Nikmati saja prosesnya berupa luka hati, sedih, kecewa. Proses yang menyakitkan itu ketika berhasil dilalui pasti berujung kegembiraan ketika ketemu kekasih baru. Jangan lupa, itu pun sebenarnya kegembiraan menunggu perpisahan jua.

Kadang-kadang dalam proses perpisahan di lingkup romansa itu ada proses saling berbuat jahat, misalnya memaki-maki, saling membuka aib di media sosial, dan lainnya. Itu proses wajar dalam sebuah perpisahan. Nikmati saja. Asalkan tidak keterlaluan—bukankah semua yang keterlaluan memang tidak baik?—pasti lekas berakhir dan akan berujung pada kegembiraan. Tentu itu kegembiraan sebelum berujung perpisahan lagi atau perpisahan yang berupa kematian.

Beberapa pekan lalu saya mendengar kisah perpisahan sangat memilukan yang dijalani seorang siswa SMA. Dia kehilangan ayah dan ibu yang meninggal dalam konflik rasial. Ia kemudian diasuh kakek dan neneknya, ayah dan ibu dari ibunya.

Saat bercerita tak ada air mata yang menitik. Raut mukanya datar. Hanya nada suaranya yang kadang berubah. Ia telah mengikhlaskan perpisahan dengan ayah dan ibunya. Kini ia gembira bersama kakek dan neneknya yang menyekolahkan dia.

Di sekolahan dia bertemu kawan-kawan yang memahami latar belakangnya dan selalu mendukung dirinya agar selalu gembira menjalani masa sekolah. Saya yakin kesedihan remaja ini akibat perpisahan dengan orang tuanya 100 kali lebih berat daripada kesedihan perpisahan saya dengan Doni.

Dalam perspektif saya, setiap manusia punya resiliensi menghadapi perpisahan. Tentu saja ini—dalam keyakinan saya—adalah bekal yang diberikan Tuhan kepada setiap individu manusia. Resiliensi menghadapi perpisahan ini sepaket dengan keniscayaan setiap individu manusia pasti akan menemui dan menghadapi perpisahan, apa pun bentuknya.

Rasanya Tuhan tak mungkin mengharuskan setiap manusia bertemu perpisahan tanpa membekali setiap manusia resiliensi menghadapi perpisahan. Bukankah setiap agama mengajarkan Tuhan adalah Maha-adil?



Dengan pemahaman perpisahan dalam konteks pribadi adalah keniscayaan, ketika dalam konteks era kehidupan yang tunggang-langgang akibat dunia yang dilipat kemudian konteks pribadi semena-mena dianggap jadi konteks publik, sesungguhnya perpisahan tetapkan keniscayaan pribadi. Dengan pemahaman demikian, sesungguhnya tak ada pentingnya menjadikan kisah perpisahan seseorang—apa pun konteksnya—yang sesungguhnya urusan pribadi itu menjadi kisah yang disajikan kepada publik.

Bukankah kisah yang disajikan kepada publik dimaksudkan untuk menjadi pelajaran? Lalu, pelajaran apa dari kisah perpisahan ketika sesungguhnya semua individu pasti menghadapi perpisahan  dan punya resiliensi menghadapi perpisahan?

Inilah contoh kesia-siaan hidup kita pada era media sosial yang membikin dunia makin tunggang-langgang. Saya hanya mengajak Anda semua mengingat bahwa hingga hari ini kita masih berjuang untuk berpisah dengan Covid-19.

Ketika tema perpisahan ini saya serahkan kepada perempuan pembaca pertama esai-esai saya dia bertanya,”Terus kapan kita berpisah?” Saya jawab,”Memangnya kita mau berpisah?” Dia menjawab,”Loh, kan kematian selalu di depan kita.” Saya menjawab,”Tetap saja aku tak mau berpisah denganmu”.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya