SOLOPOS.COM - Jafar Sodiq Assegaf (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Aksi tim nasional sepak bola Jerman di Piala Dunia 2022 menuai pro dan kontra. Laga perdana dilalui Der Panzer saat menghadapi Jepang dibuka dengan gestur tutup mulut sebelum kick off. Gestur ini ditujukan Jerman untuk menunjukkan sikap penolakan terhadap larangan simbol LGBTQ atau  lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer.

Aksi tutup mulut tersebut dilakukan Jerman sebagai bentuk protes atas larangan kampanye “One Love” di Piala Dunia 2022. FIFA dan Qatar melarang atribut LGBT ditampilkan selama turnamen berlangsung.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Tak lama setelah aksi itu dilakukan, tim nasional Jerman langsung menjadi perbincangan, apalagi setelah aksi tersebut Jerman keok dalam pertandingan melawan Jepang dengan skor 1-2.

Sampai di sini, Jerman sudah dicibir karena sikapnya. Jerman jadi topik pembahasan terpanas di media sosial dan bahkan menjadi topik terpopuler di Twitter hingga Tiktok. Tak berhenti sampai di situ, cibiran semakin deras mengalir saat Manuel Neuer dkk. gagal lolos lantaran kalah selisih gol oleh Spanyol.

Jerman langsung dicap “kena azab” karena mengkampanyekan sikap kontra pro-LGBTQ.

Baca Juga: Hajar Jerman dan Spanyol, Ini Daftar Pemain Timnas Jepang di Piala Dunia 2022

Di antara para pengkritik sebenarnya ada pula tudingan yang lebih rasional. Mereka menyesalkan sikap Jerman yang melakukan propaganda politik di lapangan hijau.

Meski begitu, Jerman tetap bertahan dengan sikapnya. Mereka menyebut aksi tutup mulut adalah perjuangan terhadap hak asasi manusia.

Jerman merasa hak asasinya dirampas. Dalam pernyatannya Jerman mengobjektifikasi keputusan FIFA sebagai larangan menggunakan ban kapten. Jerman juga meluruskan salah persepsi soal gestur tutup mulut.

Menurut mereka, gestur ini adalah untuk memprotes FIFA lantaran melarang pemakaian ban kapten. Ingat, ban kapten, yang “kebetulan” memuat simbol-simbol LGBT.

“Ini bukan tentang membuat pernyataan politik. Hak asasi manusia tidak dapat dinegosiasikan. Itulah mengapa pesan ini sangat penting bagi kami. Menolak ban kapten sama dengan menolak suara kami. Kami tetap berdiri di posisi kami,” kata pihak Jerman dilansir Football London, 24 November 2022.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Publik lebih suka menyebut Jerman tumbang karena “azab” mendukung LGBTQ.

Terlepas dari itu, pernyataan politik di lapangan hijau sebenarnya bukan hal baru. Namun dalam dua dekade terakhir, FIFA mencoba mereduksi aksi-aksi politik di lapangan untuk memurnikan sepakbola.

Sikap FIFA

FIFA melarang pemain sepak bola menunjukkan sikapnya terkait isu agama, etnis, atau politik. FIFA beranggapan, dengan menghilangkan sikap politik di lapangan, sepak bola dapat dinikmati semua kalangan. FIFA juga menyiapkan sanksi setimpal untuk mereka yang melanggar.

Namun, kebijakan semacam ini agaknya tak sepenuhnya bisa disepakati. Melarang pernyataan sikap di lapangan bisa jadi menurunkan nilai dari sepak bola itu sendiri.

Baca Juga: Penyisihan Grup Tuntas, Ini Jadwal dan Tim Lolos 16 Besar Piala Dunia 2022

Sepak bola dan politik adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Sepak bola lebih dari sekadar olahraga, ia dapat menjadi ruang menyatakan sikap untuk siapa saja.

Termasuk dalam kasus Jerman di Piala Dunia 2022. Bagaimanapun juga mengizinkan Jerman untuk memakai atribut apapun, asal sesuai standar FIFA, setara dengan mengizinkan Qatar untuk tidak mengizinkan minuman keras masuk dalam stadion.

Hanya saja, yang boleh dijadikan standar pertimbangan adalah hal-hal yang menyangkut keamanan. Tolak ukurnya harus jelas dan signifikan. Bukan berdasarkan rasa suka atau tidak suka.

Tidak semua sikap politik dilarang dalam lapangan. Saat serangan terorisme di Prancis 2016, sejumlah negara memberi dukungan dan menyatakan sikap untuk menentang terorisme. Itu juga sikap politik.

Sikap politik lain ditunjukkan suporter klub asal Jerman, Borussia Dortmund sekitar tujuh tahun silam. Saat gelombang imigran tiba di Eropa, mereka ramai-ramai menyambutnya. Banner Refugees Welcome pun terlihat di Signal Iduna Park, markas Die Borussen.

Aksi ini tentu perlu dipandang sebagai pernyataan sikap warga Jerman yang terbuka terhadap imigran. Para suporter yang selama ini lekat dengan citra negatif, mampu menunjukkan kemanusiaan di hadapan dunia.

Sikap FIFA terhadap aksi politik di lapangan adalah ide utopis. Sepak bola adalah pusat perhatian. Sepak bola adalah ruang politik, tempat individu atau kelompok dapat mengekspresikan sikapnya.

Dengan demikian, sepak bola dapat melampaui dirinya sebagai sekadar olahraga. Sepak bola sebagai ruang politik dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian kepada dunia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya