SOLOPOS.COM - Ilustrasi demonstrasi (JIBI/Solopos/Antara)

Solopos.com, JAKARTA — Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menilai kasus kekerasan yang menimpa sejumlah jurnalis baik di Jakarta maupun di daerah saat meliput unjuk rasa mahasiswa menolak RKUHP pada 24-25 September 2019 merupakan alarm nyata bagi keberlangsungan kebebasan pers di Tanah Air.

Oleh sebab itu, IJTI mendesak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk segera membenahi prosedur perlindungan bagi para jurnalis yang bertugas di lapangan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Sebagian besar pelaku kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi menolak RKUHP dilakukan oleh oknum anggota kepolisian. Sedangkan satu kasus dilakukan oleh massa aksi,” kata Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriana, dalam keterangan tertulis, Sabtu (28/9/2019).

Dia menjelaskan selama satu pekan ini, IJTI mencatat 10 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis saat meliput unjuk rasa menolak RKUHP.

Dari angka itu, enam kasus kekerasan terjadi di Ibu Kota dan selebihnya terjadi di daerah. Dari 10 korban kekerasan, empat orang diantaranya merupakan jurnalis televisi yakni Febrian Ahmad, reporter Metrotv, kendaraan liputannya dirusak oleh massa.

Kemudian, Rian Saputra kameraman TVRI Sulawesi Tengah, kameranya dirampas dan gambar dihapus oleh oknum polisi saat meliput aksi demonstrasi mahasiswa di Jalan Raden Saleh yang tidak jauh dari Gedung DPRD Sulawesi Tengah.

Selain itu ada Vany Fitria dan Harfin Naqsyabandi, reporter Narasi TV, juga mengalami kekerasan oleh oknum polisi saat meliput aksi unjuk rasa tolak RKUHP di Jakarta.

Yadi Hendriana menambahkan adanya jurnalis mendapat kekerasan saat meliput aksi menolak RKUHP yang pelakunya didominasi oleh aparat kepolisian menunjukkan ada persoalan serius di tubuh Polri terutama terkait penanganan dan perlindungan bagi para jurnalis. Mengingat, Polri dan Dewan Pers telah memiliki MoU terkait penanganan dan perlindungan bagi para jurnalis.

IJTI mempertanyakan komitmen Polri dalam menjalankan nota kesepakatan menyangkut perlindungan jurnalis yang sudah dibuat dengan Dewan Pers. Mengingat dalam praktiknya masih banyak anggota Polri dtidak memahami tugas-tugas jurnalis yang dilindungi dan dijamin oleh undang-undang.

Dalam UU No 40 tahun 1999 tentang Pers secara tegas disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta.

“Pers berfungsi sebagai kontrol sosial dan penyampai aspirasi publik. Itulah mengapa pers menjadi salah satu pilar demokrasi. Tanpa kebebasan pers dan berekspresi maka demokrasi di Tanah Air tidak akan berjalan dengan baik,” tutur Yadi.

Berikut pernyataan sikap IJTI sehubungan kekerasan yang menimpa sejumlah jurnalis saat meliput unjuk rasa menolak RKUHP:

1. Mengecam keras sejumlah oknum aparat kepolisian yang melakukan kekerasan pada jurnalis yang tengah melakukan peliputan unjuk rasa menolak RKUHP.

2. Mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan massa aksi.

3. Meminta Kapolri mengevaluasi pelaksanaan MoU Polri dengan Dewan Pers terkait perlindungan jurnalis.

4. IJTI mendesak adanya reformasi di Polri terutama yang menyangkut penanganan dan perlindungan jurnalis.

5. Mendorong jurnalis yang menjadi korban untuk memproses kasus kekerasan secara hukum.

6. Mengimbau seluruh jurnalis Televisi terus menjaga kode etik jurnalistik dan profesionalitas dalam menjalankan tugasnya.

7. Meminta agar para jurnalis selalu mengutamakan aspek keselamatan saat menjalankan tugasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya