SOLOPOS.COM - Ilustrasi kesehatan ginjal. (Freepik.com)

Solopos.com, SOLO – Jika bicara mengenai cuci darah, biasanya sebagian orang akan langsung berpikir pada penyakit gangguan ginjal. Namun apakah setiap mengalami gangguan ginjal harus cuci darah?

Dokter spesialis penyakit dalam subspesialis ginjal Hipertensi RS JIH Solo, dr. Aryo Suseno, Sp.PD., K-GH, M. Kes, FINASIM, menjelaskan cuci darah memang dilakukan sebagai bentuk terapi pengganti ginjal misalnya, ketika ginjal seseorang mengalami gangguan, maka diperlukan bantuan untuk menggantikan fungsi ginjal.

“Dia [ginjal] perlu digantikan dulu oleh mesin. Alhamdulillah di dunia kedokteran modern ini sudah ada modal itu. Jadi fungsi ginjal digantikan dulu,” jelas dia dalam program Health Talk yang disiarkan di Youtube RS JIH Solo.

Dalam kondisi tertentu, cuci darah dapat dilakukan baik untuk penderita penyakit ginjal akut maupun kronik. Cuci darah biasanya akan dilakukan ketika kondisi ginjal yang sudah sangat terganggu sehingga fungsinya sudah sangat terbatas.

“Tapi setelah faktor penyebab sudah bisa diatasi, ginjal sudah ada perbaikan, tidak perlu dilanjutkan,” kata dia.

Pada penyakit ginjal kronik, yang terbagi dalam lima stadium, biasanya cuci darah dilakukan ketika kondisinya sudah di stadium akhir. Selain melihat tingkat gangguan pada ginjal, cuci darah juga dilakukan dengan mempertimbangkan kemungkinan menambah atau memperbaiki kualitas hidup pada pasien.

“Jadi kami juga memilah-milah, kira-kira pasien ginjal yang seperti apa yang akan memiliki perbaikan kualitas hidup dengan cuci darah,” lanjut dia.

Ketika seseorang sudah disarankan untuk melakukan cuci darah, ada baiknya hal tersebut juga dilakukan secara rutin sesuai kebutuhan. Di Indonesia, terapi cuci darah rata-rata dilakukan dua kali dalam sepekan. Itu pun belum dapat menggantikan fungsi ginjal sepenuhnya. Sebab dalam kondisi normal, ginjal melakukan tugasnya dalam 24 jam sehari.

 

Rekomendasi
Berita Lainnya