SOLOPOS.COM - Ilustrasi industri tekstil (Dok/JIBI/Bisnis)

Perlambatan ekonomi membuat puluhan ribu pekerja industri tekstil di-PHK. Namun ada banyak industri tekstil baru yang lahir.

Solopos.com, SEMARANG — Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengakui terdapat 47 industri tekstil merelokasi pabrik ke Jawa Tengah. Penyebabnya, konversi lahan dan biaya produksi di kawasan lama terus melonjak.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ketua Dewan Pembina API Benny Sutrisno mengatakan relokasi itu telah dilakukan oleh para pengusaha secara bertahap pada tahun sebelumnya. Menurutnya, sejumlah pengusaha tekstil menganggap Jateng merupakan wilayah potensial untuk pengembangan industri padat karya ini.

Data API per Agustus 2015 menyebutkan 47 perusahaan itu menyerap tenaga kerja sebanyak 70.000 orang. Di sisi lain, API juga menerima pengaduan dari 17 perusahaan tekstil perihal rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal hingga keluhan mengenai biaya produksi yang membengkak akibat kebijakan pemerintah.

“Jadi ada industri [tekstil] yang lahir dan mati. Namun masih banyak yang lahir. Laporan terakhir kami sebanyak 26.000 tenaga kerja yang di PHK, sementara perekrutan tenaga kerja baru bisa mencapai 70.000 orang lebih,” terangnya di sela-sela acara sosialisasi Desk Khusus Investasi sektor tekstil dan sepatu di Semarang, Kamis (15/10/2015).

Menurutnya, perusahaan yang melakukan PHK dinilai tidak bisa berdaya saing baik dari segi produksi maupun tuntutan buruh yang menghendaki kenaikan upah. Selain itu, adanya konversi lahan menjadi bisnis properti dan kafé membuat pengusaha tekstil hengkang dari lokasi tersebut.

“Ya, mereka pilih lokasi yang secara investasi lahan tidak mahal. Pilihan salah satunya di Jawa Tengah ini. Adapula yang menutup perusahaan dan lahannya dijadikan perumahan serta kafé. Kebanyakan dari Jawa Barat, terutama di Bandung,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengatakan, wilayah Jateng merupakan salah satu daerah yang menjadi pilihan investor terutama industri padat karya yakni industri tekstil dan sepatu.

Menurut data BKPM, realisasi investasi sektor tekstil di Jateng selama semester I/2015 senilai Rp2,4 triliun dari 72 proyek yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 25.800 orang. “Jumlah itu menjadikan Jateng sebagai provinsi dengan realisasi investasi tekstil terbesar di Indonesia,” terang Franky.

Pihaknya berharap investor baru dan existing di wilayah berpenduduk 33,5 juta jiwa ini dapat berkembang sehingga berkontribusi besar dalam menyerap tenaga kerja. Terlebih, ujarnya, serapan tenaga kerja sektor bisa mencapai 6,5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya.

Secara nasional BKPM merilis data nilai investasi di sektor tekstil pada semester I/2015 mencapai Rp 3,9 triliun atau naik 58% dibandingkan periode sama tahun lalu.

Realisasi investasi seluruh subsektor tekstil pada semester I/2015 juga terkerek. Industri pengolahan serat tekstil tumbuh 213% dengan nilai investasi Rp2,40 triliun dari 82 proyek, pertenunan tekstil tumbuh 613% atau Rp163 miliar dari 25 proyek, pakaian jadi tumbuh 16% atau Rp941 miliar, dan perlengkapan pakaian tumbuh 563% atau Rp216 miliar dari 15 proyek.

Lebih lanjut, Franky mengatakan terdapat 378 proyek yang menggarap industri tekstil dan produk tekstil dengan serapan tenaga hingga 70.000 tenaga kerja. Adapun, realisasi serapan tenaga kerja hingga semester I tahun ini mencapai 460.000 tenaga kerja atau lebih besar ketimbang tahun lalu diangka 160.000 tenaga kerja.

“Pemerintah menargertkan setiap tahun ada 2 juta tenaga kerja baru. Pilihan industri yang pas hanya ada di industri padat karya,” terangnya.

Menurutnya, pertumbuhan realisasi investasi baru maupun perluasan sektor tekstil dan sepatu di Jateng harus diimbangi dengan investor existing yang juga berjalan dengan baik. Oleh karena itu, lanjutnya, investor sektor tekstil dan industri padat karya lainnya di Jateng dan Jawa Timur yang bermasalah diminta mengadu ke Desk Khusus Investasi sehingga pemerintah dapat memfasilitasinya.

“Desk ini seperti poliklinik yang mendiagnosa penyakit si perusahaan yang sakit. Itu harus ditemukan oleh solusinya tepat, apakah masalah keuangan, tentu diperiksa apakah dari perbankan atau Kementerian Keuangan untuk ikut membantu,” tambah Benny.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya