SOLOPOS.COM - Edy Purwo Saputro/Dokumen Solopos

Solopos.com, SOLO -- Rencana pelaksanaan Solo Great Sale (SGS) 2020 pada Februari 2020 akan lebih digital dengan aplikasi quick response code atau QR code yang diharapkan mendongkrak transaksi bisnis di Soloraya (Harian Solopos edisi Senin 16 Desember 2019).

SGS layak dimaknai sebagai momentum memacu geliat sektor riil, meski tidak bisa lepas dari perilaku konsumen. Agenda SGS sangat terkait dengan pemasaran sementara kegiatan pemasaran mengacu pada target pasar dan omzet yang berpengaruh terhadap profit.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Oleh karena itulah, SGS juga mengacu perilaku konsumen dalam memengaruhi niat membeli dan loyalitas pembeli pada era persaingan yang semakin ketat. Artinya, mencermati agenda SGS menjadi menarik dalam konteks pemasaran.

Pencapaian SGS 2019 senilai Rp611,6 miliar atau melampaui target yang ditetapkan senilai Rp600 miliar dengan jumlah peserta 7.639 tenant (melampaui target 6.000 tenant) dan sebaran kartu SGS 71.768 lembar.

Catatan menarik dari SGS 2019 adalah ternyata promosi di luar area Solo masih kurang dan transaksi nontunai di pasar tradisional masih kurang maksimal padahal ini bisa menjadi pendukung transaksi kumulatif dan belum semua pasar tradisional terlibat dalam SGS, hanya 205 pasar tradisional di Kota Solo yang terlibat dari sekitar 44 pasar tradisional.

Dalam SGS 2020 diharapkan ada perubahan lebih baik, termasuk tentu keterlibatan peserta dan keberagaman transaksi, terutama dari aspek transaksi nontunai dengan kemudahan berupa dukungan perbankan. Hal ini penting terutama dikaitkan dengan target SGS 2020 yang senilai Rp700 miliar dan melibatkan 7.000 tenant dengan promosi yang lebih gencar di luar Soloraya.

Jaminan

SGS tentu berbeda dengan momentum Ramadan dan Natal yang jamak dimeriahkan dengan pesta diskon. SGS menjadi acuan untuk memetakan kekuatan daya beli konsumen. Konsumen di Soloraya memiliki agenda pesta diskon tahunan selain pada momentum Ramadan, Idulfitri, Natal, serta momentum berskala nasional hari belanja nasional yang baru saja berlalu yang dikenal dengan 12.12.

Dengan kata lain, dunia usaha tahu betul bahwa semua momentum itu adalah waktu yang tepat untuk menggelar pesta diskon sekaligus perang diskon. Bedanya, saat Ramadan dan Idulfitri identik dengan pembayaran tunjangan hari raya sebagai bonus yang dapat diselaraskan dengan niat berbelanja untuk memburu pesta diskon.

Jika ditelusuri, perang diskon sebenarnya dimulai sejak ada pemasaran, meski konotasi tentang perang diskon cenderung negatif. Revolusi dan evolusi perilaku konsumen semakin memacu daya kritis sehingga tidak secara langsung perang diskon efektif menarik niat konsumen untuk membeli.

Persepsi perang diskon yang awalnya pesta diskon juga mengacu pada switching behavior. Perang diskon tidak bisa terlepas dari perilaku yang terkait dengan niat membeli dan niat loyal serta ancaman peralihan konsumsi. Hal menarik yang bisa dikaji dari SGS adalah bagaimana konsumen menyikapi keduanya?

Tuntutan menjadi konsumen cerdas tampaknya semakin penting pada era persaingan yang semakin ketat dan gebyar pesta diskon pada  setiap saat yang disajikan produsen dan pemasar. Jika mau berpikir kritis, apakah ada yang gratis pada era industrialisasi yang penuh dengan kapitalis saat ini?

Ketika semuanya harus membayar dan ketika semuanya harus registrasi, termasuk ketika semuanya harus terkait dengan ”syarat dan ketentuan berlaku”, tentu tidak ada yang gratis. Kedewasaan konsumen harus dikedepankan agar konsumen tidak terjebak dalam perang diskon atau perang tarif yang pada akhirnya justru mengebiri hak-hak konsumen.

Artinya, inilah saat penting agar kita bisa menjadi smart customer dalam arti sesungguhnya. Strategi pemasaran semakin berkembang dengan berbagai model dan modus untuk mengubah perilaku konsumen, termasuk orientasi membangun niat membeli dan memicu terjadinya pembelian yang tidak terencana atau impulse buying.

Tidak mengherankan pesta diskon dan perang diskon menjadi bagian dari strategi pemasaran, tidak hanya dalam pasar tradisional atau offline, tetapi juga dalam pasar modern atau online. Artinya, semua lini akan dimanfaatkan pemasar untuk mencapai profit.

Berkaca dari kasus itu, ketika banyak dunia usaha yang menggelar perang diskon untuk semua produk, maka konsumen harus lebih jeli, teliti, dan waspada agar tidak terjebak menjadi korban iklan. Banyak masyarakat yang menjadi korban iklan dan tentu kita tidak berharap menjadi korban berikutnya.

Bagaimana konsumen menyiasati perang diskon yang seolah-olah rutin digelar setiap tahun di berbagai event? Yang pasti konsumen harus menempatkan diri sebagai subjek dari perilaku konsumsi dan jangan mau menjadi objek.

Ketika konsumen sadar menjadi subjek maka semua keputusan atas perilaku konsumsi tergantung sepenuhnya kepada keputusan yang rasional dan benar-benar untuk pemenuhan kebutuhan, bukan untuk pemenuhan keinginan. Bagaimanapun kebutuhan dan keinginan jelas berbeda.

Definisi keinginan cenderung lebih luas dibanding kebutuhan dan biasanya hal ini lebih mengarah pada aspek sekunder atau justru tersier. Kedewasaan dalam perilaku konsumsi, ketika ada perang diskon atau tidak, pada dasarnya upaya untuk memenuhi kebutuhan primer.

Kendali 

Yang juga perlu dicermati terkait perang diskon adalah mengerem perilaku membeli yang tidak terencana. Perilaku konsumen memang tidak bisa diprediksi, meski justru bisa menjadi peluang bagi pemasar untuk menjual produk kepada konsumen.

Salah satu faktor riil di balik kesulitan memprediksi perilaku konsumen yaitu terjadinya impulse buying. Perilaku impulse buying semakin menguat seiring merebaknya Internet dengan platform e-commerce dan menjamurnya mal atau supermarket.

Fakta ini semakin diperparah oleh perang diskon yang digelar dunia usaha dan kemudahan transaksi yang dijanjikan lembaga pembiayaan dan perbankan, termasuk kredit tanpa agunan. Keunikan di balik perang diskon dan perilaku konsumen membuatbanyak peneliti yakin kajian perang diskon dan impulse buying merupakan bagian dari penelitian tentang sikap dan perilaku konsumen yang menarik.

Wajar kemudian cenderung terjadi ketidakpuasan setelah pembelian karena cenderung terjadi perbedaan antara apa yang dibeli dan kualitas atau harapan atas produk yang dibeli. Pakar pemasaran justru menganggap ambigu di balik perilaku ini adalah sikap salah, meski praktiknya justru tidak sedikit kasus seperti ini. Artinya, menjadi konsumen cerdas sangat penting di tengah perang diskon para produsen dan pemasar.



 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya