SOLOPOS.COM - Pameran lontar di Museum Nyoman Gunarsa bagian Festival Internasional Bahasa Bali atau International Festival of Balinese Language (IFBL) (Twitter.com)

Solopos.com, DENPASAR — Perguruan tinggi-perguruan tinggi terkemuka di sejumlah negara maju tetap memelihara aksara kuno warisan bangsa mereka maupun yang berasal dari dunia timur. Pemikiran itulah yang mendasari perlunya pelestarian aksara dan bahasa Bali yang ditajuki Festival Internasional Bahasa Bali atau International Festival of Balinese Language (IFBL).

“Naskah-naskah kuno itu dirawat dan dimanfaatkan dengan baik dalam perpustakaan naskah yang mewah,” ungkap Rektor Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar I Nengah Duija seperti yang dituturkan Nyoman Gunarsa di Denpasar, Minggu (17/11/2013). Maestro Nyoman Gunarsa menggagas dan melaksanakan IFBL dengan melibatkan utusan dari 9 negara mendapat masukan ahli bahasa mancanegara, termasuk dari I Nengah Duija.

Promosi Wealth Management BRI Prioritas Raih Penghargaan Asia Trailblazer Awards 2024

Perguruan tinggi-perguruan tinggi di negara maju itu memiliki ribuan naskah kuno, termasuk aksara dan bahasa yang menjadi kekayaan rohani warisan budaya dan peradaban masa lampau yang terpelihara dengan sangat luar biasa. Hal itu jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia, khususnya Bali. Bahkan, bahasa daerah Bali di tanah kelahirannya sendiri hal itu sulit dilakukan oleh pemerintah setempat sampai ke desa-desa.

Padahal, pelestarian naskah-naskah itu sangat penting untuk perkembangan pada masa sekarang maupun yang akan datang. Fakta struktural membuktikan bahwa dunia pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi penilaiannya menekankan pada capaian kuantitatif-kognitif dengan ukuran barat. Dengan demikian, kata Nengah Duija, pendidikan tidak lagi sebagai transformasi nilai-nilai budaya yang luhur untuk memanusiakan manusia, tetapi mengadopsi nilai-nilai barat yang digunakan untuk membangun manusia Indonesia.

Penggerusan akar budaya bangsa Indonesia bukan semata kesalahan generasi muda, melainkan telah dikonstruksi secara struktural baik dalam aspek regulasi, kebijakan politik, maupun birokrasi. Semuanya itu bermuara pada ranah pendidikan formal. Ketika karut-marutnya sistem pendidikan, barulah sadar bahwa pendidikan karakter dinilai salah satu solusi mengantisipasi merosotnya moralitas anak bangsa belakangan ini.

“Persoalannya adalah bagaimana mengajarkan karakter jujur, sopan, mandiri, kerja keras, dan sebagainya pada anak-anak yang memiliki latar belakang kebudayaan dan cara berpikir kolektif yang beraneka ragam,” katanya.

Dengan demikian, pendidikan karakter akan menemui kendala besar di lapangan atau telah kehilangan pegangan untuk membangun manusia Indonesia dengan pendekatan budaya. Akar budaya tidak dimaksudkan dalam pembelajaran di sekolah yang ikut menentukan keutuhan kualitas lulusan yang dihasilkan. Salah satunya bahasa dan aksara daerah sebagai akar budaya, khususnya aksara, bahasa, dan sastra Bali yang selalu menjadi cemohan bagi kaum terpelajar. “Padahal, mereka justru dilahirkan dan dibesarkan oleh aksara, bahasa, dan sastra Bali itu sendiri,” ujar Nengah Duija.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya