SOLOPOS.COM - Ki Manteb Soedharsono tampil membawakan lakon Bedah Lokapala di Sitinggil Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Senin (13/1/2014) malam. Dalang yang terkenal dengan sabetannya ini menjadi salah satu penampil dalam pergelaran wayang kulit yang digelar selama sepekan pada perayaan Sekaten 2014. (Mahardini Nur Afifah/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Persaingan antardalang di pentas seni pertunjukan tradisional Jawa bukan hal baru. Selain para dalang senior yang telah dikenal publik, selalu saja ada dalang pemula yang mencoba eksis di pentas hiburan itu.

Persaingan antardalang itu umumnya bermuara pada tarif pergelaran wayang kulit yang mereka patok. Harian Umum Solopos, edisi Jumat (5/9/2014), mengulas rentang tarif yang dipatok dalang pemula hingga senior tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ki Purwacarita, 29, adalah salah seorang narasumber yang dipilih. Semangatnya tak tampak surut kala Solopos mengajaknya berbincang, Rabu (3/9/2014) siang. Melembur penyusunan makalah semalaman, tak membuat dalang yang berdomisili di Srebeggede RT 008/RW 004, Trucuk, Trucuk, Klaten ini kehabisan tenaga.

Tak hanya mendalang, lelaki bernama asli Arif Hartarta ini memang rajin pula mengkaji mantra, mitologi, seni tradisional, dan kebudayaan Jawa. Meski demikian, sepanjang September ini, tujuh hari di kalendernya telah terisi jadwal pementasan wayang kulit di berbagai daerah.

Namun jangan sangka bulan kesembilan ini menjadi puncak rutinitas mendalang bagi alumnus Magister Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo itu. “Nanti setelah Sura, Sapar, dan Ruwah, ada sekitar 12 tanggal [tiap satu bulan] yang sudah terisi,” kata Ki Purwacarita.

Dalang Tumbuh Pesat
Selama 11 tahun mendalang, dalang muda yang dulu belajar di Akademi Seni Mangkunegaran (Asga) Solo tersebut merasakan ruang geraknya memainkan anak wayang kian terbatas. Penyebabnya, pertumbuhan jumlah dalang yang kian pesat.

“Di sini ibaratnya tiap jalan satu meter bisa tersandung dalang. Tahun lalu ada sekitar 200 dalang yang tercatat. Tapi realisasinya bisa sampai 400 karena ada yang belum mendaftar. Di Trucuk saja satu kecamatan sampai ada 50 dalang. Semua belajar mayang mulai anak-anak sampai lurah,” kisah anggota Komisi Pedalangan Dewan Kesenian Klaten ini.

Guna menyiasati peta persaingan yang kian menantang, dalang yang sekali pentas diapresiasi Rp8 juta-Rp20 juta tersebut memberikan suguhan pertunjukan yang ia kuasai. “Saya memainkan wayang klasik dengan sabetan kombinasi Klaten [sabet semu] dan Sragen [sabet lincah]. Selain itu saya juga lebih manteb kalau menggarap lakon yang bersumber dari naskah kuno hasil terjemahan sendiri. Lebih akurat,” ungkapnya.

Selain menyiapkan persiapan teknis, dalang yang gemar laku semedi sejak duduk di bangku SMA ini punya ritual khusus menjelang pementasan untuk mendukung persiapan batinnya. “Persiapannya tarik napas dalam-dalam satu kali, kemudian membaca Al Fatihah tiga kali, dan kaki kanan dijejakkan ke panggung tiga kali,” beber dalang yang belum lama ini menggarap kisah berlatar Kakawin Sutasoma itu.

Gejala meningkatnya jumlah dalang dan menggeliatnya pentas perdalangan turut diamati Ketua Paguyuban Dhalang Surakarta (Padhasuka), Ki Gusti Benowo. Benowo menjelaskan keberadaan dalang ditilik dari estetika dan pengalaman terbagi menjadi top level, menengah, dan pendatang baru.

Top level, imbuhnya, biasa digunakan birokrat dan perusahaan besar. Menengah biasanya ditanggap untuk ritual adat di desa dan tanggapan. Sementara pendatang baru biasanya ditanggap untuk meramaikan hajatan warga pinggiran.

“Dulu setiap dalang yang ramai bisa 15 kali sebulan. Sekarang frekuensi tampil mereka lebih jarang bukan karena sepinya penanggap. Justru karena tingginya kompetisi di kalangan dalang sendiri. Ada yang dari festival, akademi, bahkan anak dalang,” jelas Benowo, ketika berbincang dengan Solopos, Selasa (4/9/2014).

Sehari Dua Pergelaran
Benowo menyebut dalang kondang sekaliber maestro Ki Manteb Soedharsono, saat persaingan belum menggeliat, pernah mendapat tawaran pentas sampai 33 titik sebulan. Itu berarti ada hari dalam sebulan yang harus dibaginya untuk lebih dari satu pergelaran wayang kulit.

Sementara itu, Honggo Utomo dari Panglima Arts Management (pendamping Ki Manteb, Ki Enthus Susmono, Ki Sigit Aryanto, dan Ki Tantut Sutanto), mengamati ruang gerak dalang yang kian sempit belakangan melahirkan persaingan yang tidak sehat. Honggo mencontohkan salah satu kasus, ada dalang junior dengan tarif di bawah Rp10 juta di Banyumas yang berani tampil tidak orisinal. Dengan menjiplak gaya penampilan, sabetan hingga sanggit yang dimainkan Ki Enthus yang sekali tampil diapresiasi Rp100 juta-Rp150 juta, dalang muda tersebut berani pasang harga murah demi mengisi jadwal manggung bulanannya.

Menurut Honggo, tarif tinggi yang mencapai ratusan juta rupiah tersebut menjadi apresiasi yang sepadan diberikan bagi para dalang yang sudah menyuguhkan tampilan langsung selama minimal enam jam. “Kalau dihitung jauh lebih murah. Dukungan kru hampir 70 orang, seperangkat gamelan kuningan, dan wayang, itu sepadan. Bandingkan dengan bayaran penyanyi pop sampai Rp50 juta buat nyanyi empat lagu,” katanya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya