SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sudah lebih seminggu berselang, kita menghadapi kenyataan kesebelasan nasional Belanda akhirnya pulang kampung akibat ‘kutukan’ Paul the Octopus. Mimpi Belanda untuk memboyong Piala Dunia 2010 dari tanah Afrika pun buyar, setelah dipecundangi Spanyol.

Spanyol, kita tahu, akhirnya membawa pulang trofi emas kebanggaan, yang menjadikannya mengukir sejarah. Bangsa matador untuk pertama kalinya menyabet gelar juara dunia. Banyak orang berilusi, kemenangan Spanyol terjadi berkat ramalan si sotong Paul.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Orang yang biasa berkutat dengan persepsi, mengatakannya sebagai keyakinan yang menjadi kenyataan, alias self fulfi lling prophecy. Dan kini pun jadi guyonan, si Paul sudah disewa bankir investasi global, untuk menebak saham mana saja yang harganya bakal naik.

Hampir mirip dengan judi atau taruhan, sotong Paul pun diharapkan dapat memberikan jawaban pada si bankir investasi, supaya terus menang saham. Kalau sedang ngopi bareng kawan, benturan antara realitas dan ekspektasi dalam kehidupan sehari-hari kerap menjadi bahan obrolan ke permukaan.

Namun, sebagai bangsa, Indonesia seperti kena kutukan. Tuah penjajah Belanda lebih dari tiga setengah abad ini, dengan taktik divide et impera, seperti membekas sampai sekarang. Seorang ekonom senior, guru besar dari universitas paling kondang di negeri ini, malah mengatakan kita bangsa kuli.

Bangsa yang tak mampu menghargai keunggulan dan kemampuan anak negeri sendiri. Jika sudah menghadapi bule, minder gak keruan, menurut saja, seperti kakek saya almarhum sering bilang: Seperti kerbau dicucuk hidung. Melawan importir gas dari China dan Jepang, seperti bangsa jajahan.

Ngadepin rayuan Amerika, seperti jadi negara bagian. Bahkan melawan kampanye LSM, semacam Greenpeace, soal pengelolaan hutan pun, seperti cacing kepanasan. Klojet-klojet oleh tawaran hibah atas nama moratorium hutan, yang tak lebih baik dibandingkan dengan rekayasa keuangan perusahaan-perusahaan kita, yang ingin mendapatkan pendanaan publik dengan cara akal-akalan.

Namun, di mana-mana kita tetap dapat tampil gagah, dan tampak perfectionist. Ketika menghiba untuk mendapatkan utang luar negeri pada masa lalu pun, pejabat kita “nyaru” seperti orang kaya yang menginap di hotel megah dan sewa mobil mewah.

Padahal yang mau ngasih utang pun cuma naik taksi. Lalu kini kita bangga, karena banyak ekspor gas dan batu bara ke luar negeri. Semuanya bahan mentah, sampai muncul lelucon bahwa Indonesia layak menjadi bangsa spesialis: Spesialis bahan baku!

Pejabat di Jakarta, yang umumnya kaya raya, juga bangga, karena Indonesia menjadi bangsa spesialis ekspor perempuan, maksud saya TKI, ke negeri seberang. Dengan sinis seorang pengusaha berkata kepada saya,

“Jangan pernah berharap bangsa Anda dihormati di jajaran bangsa-bangsa di dunia, meski masuk jajaran elite G-20.” “Lho, kenapa?” “Anda menghormati diri sendiri saja nggak bisa. Bagaimana mungkin Anda kirim perempuan-perempuan ke Malaysia, Hong Kong, Taiwan, dan Saudi Arabia, tanpa ada perlindungan memadai dan tanpa disertai suami?”

“Bukannya Filipina juga begitu?” tanya saya. “Ya. Tapi bedanya, perempuan Anda lebih banyak dilecehkan sebagai house helper, bukan seperti perempuan Filipina yang berprofesi di bidang-bidang yang white-colar.” Itu penggalan diskusinya.

****

Maka jangan heran tatkala tarif listrik naik semua jadi kelabakan. Bukan karena kenaikan tarif yang membuat semua biaya produksi dan biaya hidup jadi lebih mahal, tetapi ketidakjelasan mengartikulasikan kebijakan itu sendiri yang menjadi cibiran.

Para pengusaha ramai-ramai berkeluh kesah: daya saing bakal menurun, produksi akan berkurang, karyawan akan di-PHK ramai-ramai. Sebelum itu, harga-harga sudah mulai merangkak ke atas, pelanpelan, apalagi menjelang bulan puasa dan Lebaran. Kita maunya perfeksionis, mengurangi defi sit anggaran seperti seruan G-20, dengan memangkas subsidi listrik.

Pejabat kita maunya menghemat anggaran paling tidak Rp5 triliun, tetapi melupakan ongkos ekonomi dan sosial yang ditimbulkan ternyata justru bisa lebih besar dari sekadar Rp5 triliun.

Padahal, cita-citanya tinggi: menggenjot pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, yang inklusif, dan demokratis. Katanya, untuk mengurangi kemiskinan. Nyatanya, jumlah orang miskin tetap membubung. Apalagi jika industri, yang mestinya mampu mempekerjakan orang miskin yang menganggur, makin kalah bersaing dengan negeri tetangga.

Seorang pengusaha industri makanan berkata: “Kami semakin sulit berkembang. Banyak pesaing baru dari China, karena perdagangan bebas dibuka.” “Kan tidak apa asal bisa lebih kompetitif dan inovatif?” tanya saya. “Kenyataannya tidak semudah teori itu,” katanya.

“Coba lihat, produk kami bersaing dengan sepeda motor yang dijual secara kredit tanpa uang muka, atau pulsa handphone yang dijual Rp5.000 di kampung- kampung. Orang lebih suka kredit motor dan beli pulsa.” Walah…ada lagi perbandingannya.

“Lalu apa betul uang keuntungan jualan pulsa itu masuk ke dalam negeri, atau lari ke luar…?” tanyanya lagi. “Kan lisensi dan pemegang saham perusahaan-perusahaan operator itu banyak yang dari luar negeri?” Ooh, begitu ya? Bukankah kita sudah siap bersaing?

Bukankah sudah siap menghadapi konsekuensi liberalisasi dan globalisasi? Yah, sudahlah. Rupanya, kita baru berpretensi menjadi perfectionist, padahal sebenarnya hanyalah ilusionis..

Oleh Arief Budisusilo
ANGGOTA DEWAN REDAKSI HARIAN JOGJA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya