SOLOPOS.COM - Kenik Asmorowati (dok)

Paksi Rukmawati (Nadhiroh/JIBI/SOLOPOS)

Pertunjukan wayang merupakan sarana untuk menghibur dan menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat. Salah satu dalang perempuan, Paksi Rukmawati, menyebutkan pertunjukan wayang merupakan sarana yang efektif dan efisien untuk sosialisasi.

Promosi BRI Bantu Usaha Kue Kering di Sidoarjo Berkembang Kian Pesat saat Lebaran

“Penonton wayang itu tidak hanya dari satu kalangan. Mulai dari masyarakat bawah sampai elit ikut menonton. Pejabat, tukang becak hadir menyaksikan sehingga sangat efisien untuk menyampaikan pesan-pesan. Kalau seminar-seminar biasanya yang hadir kan hanya kalangan tertentu,” papar Paksi saat ditemui Solopos.com di Gedung Jurusan Seni Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Senin (25/3).

Nia Dwi Raharjo (istimewa)

Menurut Paksi, kemampuan dalang yang satu dan dalang lainnya berbeda-beda. Seorang dalang harus pandai-pandai mengatur suara dan cengkok. Dia menyatakan perlu ada improvisasi dengan mengadopsi info-info aktual untuk disampaikan kepada masyarakat. Meski demikian, imbuhnya, improvisasi itu tidak sampai membuat keluar dari alur cerita. “Improvisasi itu butuh kecerdasan. Kadang boomerang itu datang dari dalang sendiri yang kurang bisa teknik pengadopsian,” lanjutnya.

Dalang lainnya, Nia Dwi Raharjo, mengemukakan dalang perempuan harus bisa memberi warna sendiri dalam dunia wayang. Nia menyatakan dalang perempuan harus menunjukkan sikap misalnya lebih teliti, lebih sopan, tidak vulgar  dan memperlihatkan sikap-sikap keperempuanan lainnya. “Dalang perempuan harus beda dengan dalang laki-laki,” ucapnya.

Kenik Asmorowati (dok)

Kenik Asmorowati juga menyatakan kehadiran dalang perempuan menjadi daya tarik sendiri bagi penonton. Dia melihat dalang itu sebagai sosok yang luwes untuk menyampaikan berbagai pesan kepada masyarakat di samping menghibur.

Paksi dan Kenik mengemukakan pertunjukan wayang juga bisa meningkatkan status sosial masyarakat di pedesaan. Paksi menuturkan adanya unsur pertunjukan pada wayang menarik perhatian tamu dan masyarakat untuk datang. “Dulu itu ada istilah wong ewuh nek ora gantung gong. Di desa masih banyak yang nanggap wayang, campursari dan klenengan. Kalau cuma pakai tips dan tidak ada tontonan, yang njagong sedikit,” tambah Kenik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya