SOLOPOS.COM - Nuri Ningsih Hidayati, pemilik Marenggo Naturaldyes Batik (Mediani Dyah Natalia/JIBI/Harian Jogja)

Perempuan inspiratif berikut mengenai anak muda dari Berbah yang mempopulerkan batik pewarna alam.

Harianjogja.com, SLEMAN — Adalah Nuri Ningsih Hidayati. Pemilik Marenggo Naturaldyes Batik ini memang berasal dari desa, tepatnya di Karongan, Jogotirto, Berbah, Sleman. Meski tinggal di pedesaan, gadis berusia 24 tahun ini aktif memperkenalkan batik dengan pewarna alam. Penggemar batik Marenggo pun bukan hanya dari pencinta batik lokal, tetapi juga mancanegara.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Ditemui di kediaman sekaligus ruang usahanya, Nuri bertutur ibu adalah orang pertama yang memperkenalkan batik padanya.

“Ibu bekerja di Balai Besar Kerajinan dan Batik DIY. Saat membatik di rumah saya suka melihat ibu. Lalu saya mulai belajar dengan membantu sedikit-sedikit,” terangnya saat dijumpai di workshop

Saking semangat belajar, Nuri sempat mematahkan sebuah canting. Rasa takut disebutnya menghinggap. Bagi pembatik, canting ibarat senjata. Bagaimana mereka bertempur jika tak bersenjata. Rasa bersalah juga menghantui, khawatir pembelian canting baru membutuhkan banyak dana.

Ternyata tak semua anggapannya benar. Canting memang senjata tapi bukan barang yang hanya dapat dijangkau kalangan tertentu. Ketakutan ini akhirnya berbalik menjadi rasa cinta. Nuri pun akhirnya mantap memilih batik sebagai pembelajaran di pendidikan formal. Dari sekian sekolah, dia memilih

Di balik rasa bersalah ini, keinginan Nuri untuk menekuni batik membesar. Dengan mantap dia memilih sekolah di Kota Jogja, tepatnya SMKN 5 Jogja dan program program studi Disain dan Produksi Kria Tekstil

“Rumah dan sekolah jaraknya jauh sekali. Setiap hari, jam 05.15 WIB saya sudah berangkat dari rumah, jalan kaki menuju perhentian bus. Jam 06.00 WIB baru dapat bus, sampai sekolah jam 07.00 WIB. Keseharian ini saya lakukan selama dua tahun pertama. Pas kelas tiga sudah naik motor,” paparnya.

Meski jauh dan lelah, Nuri menikmati setiap proses. Setiap keluhan disebutnya tergantikan dengan aneka pengetahuan baru yang mengasah kemampuannya.

Namun bukan berarti semua berjalan mulus. Saat hari penentuan kelulusan, dia sempat mengalami drama. Nuri sempat dinyatakan tidak lulus. Bukan karena Nuri tak memiliki prestasi, tetapi nilai praktik jurusan terbalik, dari 8,6 tertulis menjadi 6,8.

“Saya tahunya waktu pengumuman. Teman-teman sudah diberi tahu kelulusannya, kok saya belum. Lalu saya telepon ke Ketua Jurusan, beliau menangis dan minta maaf. Ternyata karena nilai saya terbalik,” paparnya.

Tentu perasaan Nuri bercampur. Dari kecewa, khawatir, takut dan bingung. Apalagi kasus serupa juga pernah dialami rekan lain dari sekolah lain. Ironisnya, sekolah si teman lepas tangan. Jika hal ini terjadi padanya, alternatif yang dapat diraih Nuri untuk mendapatkan ijazah dengan Kejar Paket C.

Beruntung pihak sekolahnya tak tinggal diam. Kepala Sekolah ikut berjuang dengan langsung ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. Semua bukti dibawa, apalagi kesalahan memang bukan dari siswa atau sekolah. Setiap data yang dikirim ke pusat sudah tepat. Namun entah mengapa saat kembali ke sekolah, justru ada nilai yang terbalik.

Perjuangan Kepala Sekolah berbuah manis dengan disetujuinya revisi nilai. Nuri pun dinyatakan lulus. Ijazah ini yang membawa gadis ini lebih dalam mempelajari batik di Jurusan Kriya Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2009.

Dari Lomba ke Lomba

Ketika ditanya alasannya memilih pewarna alam sebagai kompetisinya, dengan lugas Nuri menyampaikan alasannya satu, lomba.

“Waktu pertama ikut lomba, saya ambil tentang batik pewarna alam. Ternyata kalau saya ikut lomba dan pakai pewarna alam selalu juara. Selain itu, saya sendiri belajar kalau batik memakai pewarna alam hasilnya bagus-bagus. Akhirnya saya tertarik lebih serius,” paparnya.

Ketika masuk tugas akhir, Nuri kembali ikut kompetisi. Kali ini tingkat nasional yakni Lomba Desain Motif Batik Mahasiswa 2013. Kala itu, dia melukis mengenai Rumah Adat Nusantara menggunakan pewarna alam menggunakan kulit kayu tingi dan kulit buah jelawe. Adapun media yang digunakan sutra.

“Saya akhirnya memang dan mendapat uang pembinaan Rp10 juta. Hadiah ini saya pakai untuk eksperimen tugas akhir,” terangnya.

Selang setahun, Nuri mendapat penghargaan dari Menteri Perindustrian kala itu, Mohamad S Hidayat sebagai Pembatik Muda Berkarya di peringatan Hari Batik Nasional. Pada kesempatan tersebut, dia sempat bertemu dengan Anny Yudhoyono, istri Presiden Republik Indonesia (RI) ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono.

“Saya sih enggak ingin karyaku ini dijual, tetapi Bu Sutarman, Bu Kapolri waktu itu senang sekali dengan batikku dan berkali-kali datang menemui karena ingin membeli. Dari sini saya dapat apresiasi dari banyak orangm” paparnya.

Batik Marenggo

Batik, kata dia, sebenarnya bukan usaha pertama. Sekitar tahun 2010, dia pernah menjajal program kampus yang mendanai mahasiswa untuk berwiraswasta.

“Waktu itu saya bikin tas rajutan sulaman. Awalnya pakai nama bapak, Entris. Setelah itu, saya lebih fokus ke batik. Tapi penggunaan nama Marenggo baru resmi 2015,” imbuhnya.

Marenggo merupakan daun banyak digunakannya. Kebetulan, tambah dia, daun ini banyak dijumpai di desanya.

“Warnanya kuning yang bagus. Orang asing ternyata juga suka nama ini. Dulu wada bule, namanya Kamila, dia suka dengan daun marenggo dan berkali-kali melafalkan tapi kesusahan,” jelasnya.

Pewarna alam, diakuinya memang tidak secerah warna sintetis. Perawatan kain juga lebih ekstra dibanding warna biasa.

Di satu sisi, tekstil jenis ini memiliki banyak manfaat. Misal air limbah tidak berbahaya bagi lingkungan. Bahkan limbah terakhir pun dapat digunakan untuk membunuh jentik-jentik nyamuk untuk mengurangi risiko penyakit demam bedarah.

“Selain itu, warna alam yang cenderung kusam sebenarnya menyehatkan mata,” papar dia.

Peminat batik pewarna alam yang tak cerah ini diakuinya terbatas. Di Jogja sendiri tak terlalu banyak. Namun di Jakarta, batik model seperti ini justru banyak dicari.

Tak ketinggalan, imbuhnya, orang asing. Mereka dapat dikatakan memuja warna-warna alam ini. Terbukti dari keseriusan mereka langsung mengunjungi ruang usaha Nuri. Adapun tempat produksinya berada di pedesaan yang jauh dari keramaian. Sebagian di antaranya bahkan setia memperhatikan karya-karya Nuri. Dimana ada karya Marenggo dipajang, mereka dengan ringan mendatangi stan pameran tersebut.

“Pernah ada turis asing dari Jepang yang singgah ke Solo. Dia datang ke Jogja hanya untuk melihat batik saya naik taksi. Waktu itu saya ada acara, tapi dia bersedia menunggu. Selesai bertemu dan melihat batik yang diinginkan, dia pulang,” paparnya.

Tahun lalu, Marenggo disebutnya mendapat kesempatan mengikuti Jogja Fashion Week. Kala itu dia baru berpartisipasi untuk pameran. Namun pada 2016 ini dia mendapat kesempatan mendesain pakaian.

Di bawah bimbingan seorang desainer, Nuri berusaha memanfaatkan peluang ini sebaik-baiknya. Selama dua hingga tiga bulan menerima bimbingan, sekitar lima karya dihasilkannya.

Batik Selalu Membuka Jalan



Marenggo, kata dia, merupakan unit usaha berbasis social entrepreneurship. Fokus bisnis, tegasnya, tetap pada batik dan pewarna alam. Tujuannya tentu untuk melestarikan batik asli.

“Batik ini menghidupi banyak tangan. Tangan yang desain, ngeblat, mbatik, yang mewarnai, bironi, mlurur dll. Jadi dengan melestarikan batik, ada banyak orang yang dikaryakan,” paparnya.

Sampai saat ini, dia memiliki dua pegawai yang mengerjakan batik di lokasi workshop, sedang 5-6 orang dikerjakan di rumah. Ke depan, dia berencana menata ruang usahanya. Dengan harapan pengerjaan di tempat dapat menarik minat pengunjung. Apalagi tamu dari luar kota rerata tidak hanya datang untuk membeli, tetapi juga melihat dan mempelajari proses.

Selama belasan tahun menekuni batik, Nuri menyampaikan tidak merasa lelah apalagi jenuh.

“Saat berkarya dengan batik harus fokus dan dari hati. Nanti batik akan memilih dan membukakan jalan, sehingga hasilnya maksimal,” paparnya.

Irwan Tirta, kata dia, merupakan salah satu perancang idolanya. Menurut Nuri, desainer ini selalu memiliki energi di setiap karya. Bahkan sampai Iwan Tirta tutup usia dan usahanya diteruskan orang lain, karya-karyanya terus “hidup”.

Dia berharap dapat menghasilkan karya seperti ini. Dapat dikenal dengan ciri khas dan menyentuh hati orang lain.

Untuk mencapai keinginan itu, Nuri berusaha menggadeng kelompok-kelompok di desanya. Pemberdayaan ini disebutnya sebagai efek multiplier.

“Bukan hanya batik semakin dikenal dan dilestarikan, tingkat kesejahteraan juga dapat meningkat. Walau modal kami terbatas, saya rasa dengan niat yang kuat akan lebih menang,” ungkap dia.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya