SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Potret perempuan dalam wacana spiritualitas menggambarkan adanya dilema yang memunculkan berbagai pertanyaan fundamental. Di satu sisi perempuan mendapatkan akses dan kesempatan berpartisipasi yang semakin luas di berbagai bidang, namun di sisi lain konsep perempuan sebagai mahkluk yang memiliki kapasitas agama dan akal hanya separoh dari laki-laki, dan perempuan sebagai makhluk yang diciptakan kedua setelah laki-laki (Adam) masih menjadi norma yang dipegangi oleh sebagian besar masyarakat.

Status ontologis perempuan sebagai makhluk kedua dengan kapasitas agama dan akal lebih rendah dari laki-laki membawa berbagai implikasi pemahaman tentang peran dan status perempuan yang diwarnai ketidaksetaraan dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam politik misalnya, perempuan tidak diperkenankan menjadi pemimpin, sementara dalam wilayah domestik laki-laki menjadi kepala dan perempuan harus taat padanya.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Spiritualitas dalam hal ini dapat dideskripsikan sebagai sebuah proses transformasi dan pertumbuhan atau perkembangan manusia, sebuah eksplorasi dalam proses menjadi manusia, sebuah upaya untuk tumbuh dalam sensitifitas terhadap diri, orang lain, mahluk lain, dan terhadap Allah yang berada di dalam dan mengatasi totalitas dunia. Spiritualitas terkait erat dengan persoalan makna: makna sebagai dan dalam proses menjadi manusia yang tidak dapat terlepas dari hubungannya dengan manusia atau entitas lain, dan dengan Allah. Pembacaan ulang tentang spiritualitas perempuan dalam Islam merupakan agenda penting dalam rangka menemukan kerangka Islam yang dapat menjadi rahmat dan ramah pada semua (rahmatan li-alamin), termasuk tentu saja bagi perempuan.

Sebagai sebuah teks, al-Qur’an dapat dibaca dengan berbagai model, baik model yang tradisional, reaktif, holistik, patriarkhi maupun liberal, karena semua teks pada dasarnya adalah polisemic atau terbuka untuk dibaca dengan cara yang bervariasi. Pembacaan terhadap teks al-Qur’an sangat ditentukan oleh siapa yang membaca, bagaimana mereka memilih untuk mendefinisikan epistemologi dan metodologi dari makna-makna yang ada (hermenutik), dan konteks dimana mereka membacanya. Setiap pembacaan adalah unik, karena merefleksikan maksud dari teks dan sekaligus prior teks dari pembacanya dan dengan demikian tidak ada metode pembacaan al-Qur’an yang benar-benar obyektif.

Pembacaan al-Qur’an selama ini patriarkhis karena di satu sisi model pembacaan yang digunakan tidak holistik atau patriarkhal dan di sisi lain tidak adanya perhatian dan penegasian para intelektual Muslim terhadap suara perempuan. Olah karena itu, model pembacaan yang paling mungkin dapat mereproduksi makna yang lebih komprehensif, tidak stereotip, adil dan setara adalah model yang mempertimbangkan tiga aspek, yaitu: artikulasi aktual dari al-Qur’an atau teks, konstruksi gramatikal, dan konteks, dengan mengiklusikan atau memasukkan pengalaman dan suara perempuan.

Keterlibatan perempuan dalam upaya membaca pesan-pesan al-Qur’an dapat memberikan kontribusi terhadap upaya menciptakan keadilan gender dalam pemikiran Islam dan dalam merealisasikan keadilan tersebut dalam dataran praktis.

Al-Qur’an mengakui kesetaraan fundamental antara laki-laki dan perempuan sejak awal penciptaan, keduanya memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama sebagai manusia. Adam tidak seharusnya dipahami sebagai simbol identitas jenis kelamin laki-laki, tetapi lebih merupakan pengandaian tentang entitas atau spesies yang disebut manusia. Artinya, laki-laki dan perempuan adalah dua kategori species manusia yang diakui secara sama dan mendapatkan potensi yang sama atau setara. Hal ini sebagaimana tercantum dalam surat An-Nisa (4:1) “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (satu spesies), dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya..).

Nilai-nilai Universal al-Qur’an, termasuk nilai kesetaraan, terlihat nyata dalam penggambaran al-Qur’an tentang kematian, kebangkitan, pengadilan, pembalasan, surga dan neraka, yang mengindikasikan kesetaraan esensial antara laki-laki dan perempuan dan tidak adanya perbedaan gender.

Al-Qur’an memberikan gambaran tentang individu-individu sebagai manusia yang secara inheren memiliki nilai yang sama dengan melihat tiga tahapan keberadaan manusia. Pertama, dalam hal penciptaan manusia; Kedua, berkaitan dengan perkembangan manusia di bumi: al-Qur’an menekankan bahwa pontensi untuk berubah, tumbuh, dan berkembang ada pada “nafs” dari setiap individu, atau juga pada kelompok. Ketiga, seluruh aktifitas manusia diberikan balasan atau pahala berdasarkan apa yang setiap individu kerjakan.

Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan maupun laki-laki secara individu memiliki potensi yang sama untuk dapat membangun kehidupan dan hidup yang baik, terkait dengan hubungan mereka dengan sesama manusia, lingkungan, dan Tuhan, dan mendapatkan balasan sesuai dengan tindakan dan upaya masing-masing. Konsep kesamaan status ontologis, potensi serta kesempatan, dan pertanggungjawaban secara individual di hadapan Tuhan memberikan ilustrasi yang jelas tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan yang bersifat material maupun spiritual.

Pembeda antara satu individu dan individu yang lain tidak ditentukan berdasarkan jenis kelamin tetapi tingkat ketakwaannya. Hal ini tertulis dengan tegas dalam surat Al-Hujurat (49:13) “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” Takwa adalah kesalehan, tindakan saleh yang memperhatikan batasan-batasan yang tepat sesuai dengan sistem sosial dan moral, dan kesadaran akan keberadaan Allah, yang menyaksikan semua tindakan manusia.

Takwa dengan demikian memiliki dua dimensi yaitu tindakan dan sikap. Takwa adalah keinginan manusia untuk memeluk kebenaran dan menjauhkan diri dari setan (ketidakbaikan) dengan cara “menggunakan akal, intelektual, dan pengetahuan.” Takwa adalah sebuah keseimbangan: kemampuan untuk menyeimbangkan antara pemikiran otonom individual dengan hegemoni sosial dan hukum Ilahiyah yang alamiyah. Orang yang takwa ialah mereka, baik perempuan maupun laki-laki, yang dapat menyeimbangkan antara tuntutan moral-relijius dengan pikiran (akal) untuk menerapkan pendidikan atau pengajaran al-Qur’an sebagai sebuah proses belajar, mengetahui, mengajarkan, dan menghidupkan Islam.

Ontentisitas spiritualitas dan nilai tindakan seorang individu dengan demikian ditentukan semata oleh tingkat kesalehan dan kesadaran Ilahiyah masing-masing. Lebih dari itu, tingkat spiritualitas dan nilai seseorang tergantung pada kemampuan masing-masing dalam menyeimbangkan dua aspek, antara statusnya sebagai individu dan masyarakat, antara tuntutan moral yang bersifat relijius dan pemikiran yang rasional, antara otonomi individual dan hegemoni masyarakat, dan sama sekali tidak terkait dengan persoalan jenis kelamin. Demikianlah, dalam konteks spiritualitas, baik perempuan maupun laki-laki secara ontologis, sosiologis, dan normatif-teologis memiliki status, kapasitas dan kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat kesalehan tertinggi.

Oleh: Inayah Rohmaniyah, S.Ag, M.Hum, MA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya