SOLOPOS.COM - Richard Eliezer, terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Yosua (Brigadir J) memejamkan mata saat jaksa membacakan tuntutan di PN Jakarta Selatan, Rabu (18/12/2023). (Tangkapan layar tayangan sidang)

Solopos.com, JAKARTA–Persidangan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua atau Brigadir J menjadi perhatian publik.

Muncul perdebatan seusai jaksa penuntut umum (JPU) menyampaikan tuntutan terhadap para terdakwa yakni Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer atau Bharada E, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Perdebatan yang saat ini masih terus bergulir adalah soal tuntutan terhadap Eliezer yang menurut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merupakan justice collaborator (JC) atau orang yang membongkar fakta-fakta hukum sejak penyidikan hingga persidangan.

JPU menuntut Eliezer dengan pidana 12 tahun penjara. LPSK dan pendukung Eliezer menilai tuntutan itu terlalu tinggi.

LPSK menilai terdapat kekhilafan yang dilakukan JPU terkait tuntutan dan replik (jawaban atas pleidoi terdakwa) terhadap Eliezer.

LPSK menyebut JPU kurang memahami tentang JC yang saat ini melekat pada Eliezer. LPSK berpendapat Eliezer yang menjadi JC berhak mendapat reward berupa keringanan tuntutan. JPU menuntut Eliezer dengan pidana 12 tahun penjara.

Sementara, JPU menilai tuntutan tersebut sudah tepat karena bagaimanapun Eliezer adalah eksekutor atau yang menembak Yosua yang mengakibatkan Yosua meninggal dunia.

JPU menyebut status Eliezer sebagai JC sudah dipertimbangkan dalam dakwaan. Jika bukan karena JC, menurut jaksa Eliezer bisa dituntut lebih berat.

Lalu apa sebenarnya justice collaborator itu? Apakah seorang justice collaborator harus mendapat keringanan hukuman?

Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun memberi penjelasan mengenai justice collaborator.

Dia mengatakan hukuman bagi seorang terdakwa dengan status justice collaborator harus tetap memperhatikan perbuatannya.

Justice collaborator tidak berarti harus dihukum ringan. Posisi JC memang mengurangi hukuman, namun berat ringan hukuman tetap mempertimbangkan perbuatannya,” kata mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta dikutip dari Antara, Jumat (3/2/2023) malam.

Menurut Gayus Lumbuun, seorang JC tetaplah seorang terdakwa. Artinya, terdakwa memiliki beban delik dakwaan yang tidak hilang.

“JC memang memiliki hak-hak seorang JC sesuai dengan Undang-Undang LPSK [Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban], tapi di sisi lain dia juga seorang terdakwa. Hakim nanti yang akan menilai,” ujar dia.

Ia mengatakan masalah JC diatur dalam UU LPSK. Disebutkan seorang JC mendapatkan kehormatan diberikan hukuman yang lebih rendah dari terdakwa lain.

“Namun, seorang JC harus bekerja sama dengan penegak hukum,” ujarnya.

Menurutnya, perlu penjelasan ke publik supaya masyarakat tidak memandang bahwa JC adalah segalanya. Dengan kata lain jangan sampai masyarakat berpandangan seorang JC sudah pasti mendapatkan hukuman ringan.

“Seolah JC sudah pasti dapat itu [hukuman yang ringan]. Padahal, pengalaman selama ini, juga banyak JC yang ditolak hakim. Penyebabnya, rekomendasi tidak sesuai dengan apa yang ditemukan di JC,” ulas dia.

Dalam kasus Eliezer, menurut Gayus, dia adalah seorang terdakwa yang mengeksekusi Brigadir Yosua atau Brigadir J. Dalam posisi seperti itu, kalaupun Eliezer dikurangi atau dihilangkan pidananya, bukan karena seorang JC tapi harus karena perbuatannya.

“Misalnya dihapus [pidananya] karena dia hanya menjalankan perintah atasannya. Jadi, jangan berpikir JC itu pasti mendapatkan keringanan hukuman,” jelas dia.

Ia mengatakan yang bersangkutan mendapatkan hukuman lebih ringan karena berstatus sebagai JC dan perbuatannya tidak lebih berat dari terdakwa yang lain. Jika Bharada E bukan seorang JC, tuntutan terhadapnya bisa seperti terdakwa Ferdy Sambo.

“Yang satu (Sambo) menyuruh, yang satu disuruh untuk membunuh kok,” katanya.

Terakhir, ia berharap masyarakat bisa memahami hal tersebut. Sebab, sekalipun ingin menyampaikan suara namun harus tetap dengan logika.

“Ini ada legal justice dan ada social justice. Keadilan masyarakat harus diimbangi keadilan hukum. Tidak boleh keadilan jalanan,” jelas dia.



Baca Juga

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya