SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/wordpress.com)

Ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/wordpress.com)

BANTUL—Sejumlah kalangan menilai lemahnya beberapa peraturan daerah (perda) yang dibuat DPRD Bantul dengan persetujuan Bupati sebagai salah satu penyebab terkatungnya penyelesaian sejumlah masalah di tingkat pedesaan hingga pedukuhan di Bantul.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

“Kita masih ingat gencarnya pemberitaan dugaan politik uang dalam sejumlah pemilihan lurah desa (pilrudes), Juli lalu. Namun, sampai sekarang tidak jelas penyelesaiannya,” kata Koordinator Bantul Corruption Watch (BCW), Romadhon, Kamis (22/11/2012).

Bukan hanya dalam pilrudes, dugaan politik uang juga mengemuka dalam pemilihan kepala dusun (pilkadus) di Manding, Sabdodadi, Bantul, Senin (11/6) lalu. Kala itu, empat warga Dusun Manding Dawang mengaku menerima uang dari salah satu calon peserta pilkadus.

Dalam Perda No.21/2007  diatur bahwa setiap pelanggaran pilrudes akan diselesaikan secara musyawarah atau dilimpahkan ke aparat penegak hukum jika mufakat tidak tercapai. Namun, proses hukum itu tidak menunda atau menghentikan proses pilrudes.

“Tentu saya juga menimbang kekuatan untuk melanjutkan laporan itu, Saya hanya rakyat kecil,” ujar Jumido, salah satu calon dalam pilkadus Manding yang akhirnya memutuskan tidak meneruskan laporan dugaan politik uang di wilayahnya.

Keputusan tidak meneruskan perkara dugaan politik uang juga dialami sebagian warga dalam pilkadus di Dusun Cepoko, Trirenggo, Bantul, November 2011. Alhasil, warga di empat RT (dari enam RT) yang tidak mengakui Kadus terpilih membentuk Paguyuban Caturtunggal.

Setelah delapan bulan memisahkan diri dari kepemimpinan Kadus Agus Trianto, warga Paguyuban Caturtunggal menemukan celah untuk melengserkannya. Yakni, saat ayah dua anak itu disidang tindak pidana ringan (tipiring) di Pengadilan Negeri Bantul karena terbukti berselingkuh, Rabu (11/7).

Namun, hingga kemarin, tuntutan warga agar Agus dicopot dari jabatannya masih terkatung. Sebab, mekanisme pemberhentian pamong desa dalam Perda No.8/2012 dinilai lemah. Pemberhentian jabatan baru dapat dilakukan jika yang bersangkutan tetap nekat meski sudah tiga kali ditegur.

“Untuk memberhentikan pamong, kami harus sesuai prosedur yang berlaku. Kalau tidak, bisa lemah jika kasusnya dinaikkan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” ujar Kepala Desa Trirenggo, Nur Handoko, kemarin. Sementara, musyawarah ditawarkan sebagai solusi untuk mengatasi masalah itu.

Field Organizer Komisi Pemantau Legislatif (KOPEL) Bantul, Dasar Widodo, membenarkan jika beberapa perda di Bantul cukup lemah dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat. “Termasuk dua perda itu (Perda No.21/2007 dan Perda No.8/2012),” tandasnya.

Menurut Dasar, ada baiknya penyusunan perda lebih diutamakan dengan meninjau langsung permasalahan yang ada di Bantul. “Kalau harus studi komparasi ke daerah lain, sasarannya harus tepat dan hasil studinya dijelaskan kepada publik secara transparan,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya