SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pepatah Tionghoa mengatakan: “Jika kita ingin makmur satu tahun, tanamlah padi. Jika kita ingin makmur sepuluh tahun, tanamlah pohon. Jika kita ingin makmur beratus tahun, tanamlah manusia.”

Menanam manusia berarti mendidik manusia. Kemajuan peradaban atau pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan orang: pendidikannya, organisasinya dan disiplinnya.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Pendidikan adalah sebuah proses menyangkut ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Kontroversi timbul ketika ujian akhir nasional yang berlangsung beberapa hari mengabaikan proses pembelajaran bertahun-tahun. Kelulusan ditentukan dengan mengukur hasil akhir dari aspek kognitif untuk beberapa mata pelajaran saja. Masalah selanjutnya, tidak pasti ada jaminan bagi mereka yang telah lulus dari setiap jenjang sekolah untuk bisa mengikuti pendidikan yang lebih tinggi, apalagi untuk mendapatkan pekerjaan.

Kebodohan

Semua manusia merupakan sasaran penderitaan. Penderitaan terjadi sebagai akibat dari serangkaian sebab-musabab yang saling bergantungan. Buddha memandang ketidaktahuan atau kebodohan (avijja) adalah penyebab utama yang ditempatkan di urutan pertama. Ada banyak noda dalam diri manusia. Noda yang paling buruk tak lain dari kebodohan. (Dhp. 243). Melalui pendidikan kita belajar untuk melenyapkan kebodohan, sehingga mampu mengatasi penderitaan.

Orientasi pendidikan dalam perspektif Buddhis sejalan dengan tujuan pembabaran agama: “Atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak” (Vin. I, 21). Memiliki pengetahuan dan keterampilan merupakan salah satu berkah utama (Sn.261). Pengetahuan saja tidak akan membuat seseorang terbebas dari penderitaan. Barangsiapa ingin mencapai kebebasan, ia juga harus melaksanakannya (Sn. 789). Dengan bertindak kita dapat mewujudkan apa yang diharapkan, termasuk memperbaiki nasib.

Pendidikan dan peradaban tidak terpisahkan. Sedangkan memperadabkan, mengupayakan hidup beradab sulit dibayangkan tanpa kecukupan taraf hidup. Keadaban selain menyangkut ketinggian tingkat kecerdasan dalam hal fisik dan non-fisik, juga menunjukkan keluhuran budi pekerti. Demi kebaikan dan keadaban, pendidikan menyingkirkan kebodohan, sekaligus juga menjadi sebuah cara untuk menghentikan segala bentuk kejahatan. Melihat kejahatan sebagai kejahatan, lalu menjauhinya, menyingkirkannya, membebaskan diri dari kejahatan, itulah yang diajarkan oleh Buddha (It. 33).

Orang yang pintar tetapi jahat tentu berbahaya bagi dunia ini. Jelas pendidikan harus mengintegrasikan pengembangan keilmuan dan kecakapan bekerja dengan pembinaan mental dan pembentukan karakter. Ajaran agama, moral dan spiritual dipandang sebagai pelita yang menerangi kegelapan. Mentalitas, karakter, moralitas dan spiritualitas terbangun melalui praktik dan pembiasaan, bukan sekadar teori.

Mengacu pada Empat Kebenaran Mulia, yaitu mengenali masalah yang disebut duka, asal mula duka, lenyapnya duka dan jalan mengakhiri duka, Kowit Vorapipatana mengembangkan cara mengatasi masalah secara sistematis. Ia menjelaskan konsep Khit-Pen yang artinya “berpikir, mengada” (to think, to be) atau “mampu berpikir” (to be able to think) untuk menggambarkan strategi pengajaran yang mencakup berpikir secara kritis dan kecakapan memecahkan masalah. Pendidikan harus memberi solusi, bukan menjadi bagian dari masalah atau menimbulkan masalah.

Mencari Sekolah

Belajar itu seumur hidup. “Orang yang hanya belajar sedikit akan menjadi tua seperti sapi jantan. Dagingnya bertambah, tetapi kebijaksanaannya tak berkembang” (Dhp. 152). Seiring dengan perubahan yang selalu terjadi (anicca), pendidikan seharusnya berkelanjutan sebagaimana cara kerja yang menghendaki perbaikan terus-menerus, yang dalam bahasa Jepang disebut kaizen.

Dalam pendidikan formal, setelah lulus ujian akhir nasional, siswa yang beruntung berusaha melanjutkan pendidikannya. Siswa memerlukan sekolah. Sekolah juga mencari murid. Sekolah favorit dan bergengsi memang diburu karena kualitas atau prestasi dan sarananya yang lengkap. Banyak sekolah, terutama negeri, mendapatkan peminat yang mempertimbangkan ringannya pembiayaan. Persaingan memang sudah biasa, namun masalah yang masih selalu dihadapi dari tahun ke tahun adalah ketimpangan distribusi siswa dan sekolah serta kurangnya pemerataan kesempatan.

Diakui atau tidak, pendidikan itu tidaklah murah. Mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh penyediaan dana. Ketika pendidikan menjadi suatu komoditi ekonomi dalam sistem liberal, orientasi bisnis dan komersialisasi tidak terhindarkan. Padahal, sekolah memiliki fungsi sosial. Biaya tidak boleh menjadi hambatan bagi orang-orang dari kelas ekonomi yang tergolong tak mampu untuk dapat ikut memperoleh pendidikan.

Terlepas dari persoalan sekolah favorit atau tidak, biaya murah atau mahal, bagaimanapun yang penting adalah prestasi akademik dan semua siswanya memiliki budi pekerti luhur. Tidak ada orangtua yang akan memercayakan pendidikan anaknya pada sekolah yang tidak menjamin keamanan. Seharusnya siswa memilih sekolah yang bersih lingkungan, yang tidak rawan  terlibat dalam  tawuran, yang bukan sarang pergaulan bebas dan narkoba.

Krishnanda Wijaya-Mukti

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya