SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Innalillahi, Saestu menika ( benarkah begitu)?” Itulah kalimat yang pantas terucap ketika mendengarkan cerita teman saya tentang Kyai Mukjizat. Dinamai ‘mukjizat’ karena dalam usia sekitar tujuh-delapan tahunan ia mampu menyihir para jamaah yang menyimak ceramahnya.

Maka pada setiap hari-hari besar agama tentu akan sulit untuk mengundangnya karena padatnya jadwal ceramah yang tidak hanya pada level tetangga kampung saja, namun hingga negeri sebelah seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Pihak panitia yang ingin mengundang harus memesan jadwal beberapa bulan sebelumnya. Penggemar dan pengagum ceramahnya pun tidak hanya orang awam saja. Tak sedikit kalangan santri hingga kyai mengagumi Kyai Mukjizat. Bahkan ada yang beranggapan bahwa Allah sengaja menciptakannya sebagai oasae bagi dahaga umat. Dan proses pendidikannya diduga langsung dari ‘langit’, tidak melalui pesantren dan lembaga pendidikan lain. Maka kemudian munculah julukan ‘mukjizat’.

Nah mengapa saya kemudian mengucap “Innalillahi” tadi karena ternyata kisah selanjutnya sungguh membuat prihatin. Ketika memasuki remaja, sang Kyai tidak pernah lagi terdengar gaungnya. Sekitar enam belas tahun salah seorang pengagumnya terkejut ketika mendengar dokter yang merawatnya mengatakan bahwa ia menderita sakit ingatan.

Bagi sebagian orang mungkin menduga bahwa kejadian ini karena “kabotan jeneng (memiliki nama atau julukan yang terlampau berat maknanya).” Memang sebagian masyarakat kita masih ada yang meyakini hal tersebut. Dan kata mukjizat sendiri memang pada asalnya hanya untuk menyebut anugerah yang diberikan kepada para rasul untuk melemahkan para penentangnya.

Karomah untuk para wali, sedangkan untuk hamba selainnya disebut i’anah. Masih adalagi ahanah dan istidraj, yaitu kelebihan yang diberikan justru sebagai bentuk penghinaan, misalnya kelebihan para tukang sihir terbang. Kembali ke cerita tadi, saya sendiri lebih setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa ia adalah korban salah asuh. Konon publikasi besar-besaran yang mencuatkan namanya tak lepas dari rekayasa agar ia bisa dan selamanya menjadi Kyai Mukjizat. Sejak belia ia terbiasa disanjung, dimanja sementara pendidikan kejiwaannya tidak berjalan normal bahkan terabaikan. Inilah yang telah membunuh psikis dan juga fisiknya.

Sengaja saya berbagi cerita ini kepada pembaca terlebih menjelang masa-masa penerimaan siswa baru bulan Juli ini. Jangan sampai kita mengorbankan anak-anak kita amanah Allah demi kepuasan orangtua. Dalam memberikan pengarahan bagi mereka kita perhatikan kecenderungan dan bakatnya, minat dan hobinya, kondisi fisiknya, hingga kemampuan bersosialisai serta daya tahannya untuk bersaing dengan tetap memberikan motivasi-motivasi.

Kita dapat melengkapi informasi seputar hal tersebut dari teman-teman dekat, ustadz, guru, wali kelas dan pembimbing konselingnya. Kemudian jika mereka telah mantap dengan pilihannya kita berikan pendampingan agar ia bertanggung jawab atas pilihannya. Jadi jangan hanya menimbang nilai ujian, mutu, apalagi sekadar gengsi. Yang perlu diperhatikan lagi adalah nasib agama dan moral anak-anak kita. Coba sekarang sejenak kita hitung-hitung berapa rencana anggaran dan biaya yang telah kita keluarkan selama ini untuk pendidikan putra-putri kita. Berapa persenkah dari jumlah tersebut yang teralokasikan untuk pendidikan agama dan moral mereka? Kemudian bagi pembaca yang terbiasa berstatistik, cobalah menggambar bagaimana kira-kira bentuk kurva yang mewakili tingkat kecerdasan intelektual dan prestasi akademik putra-putri kita dibandingkan budi pekerti serta pengamalan ajaran agama mereka?

Bagaimana pembaca, sudahkah menembus angka lima puluh? Bagaimana pula bentuk kurvanya? Apapun jawabannya namun yang tepat saat ini adalah istighfar. Jika para nabi dahulu bertanya “Ma ta’buduna min ba’di, Apakah yang Kalian sembah sepeninggalku?” Maka sekarang berubah, “Ma ta’kuluna min ba’di , Apakah yang Kalian makan sepeninggalku?”. Dan yang dikhawatirkan adalah jika jawaban dua pertanyaan berbeda tersebut sama, baik dijawab berupa sikap atau tindakan. Yakni, apa yang dimakan apa yang masuk ke perutnya itulah tuhan mereka, na’udzubillah.

H Nur Hamid

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya