SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Mangan ora mangan, anggere kumpul. Demikianlah ungkapan orang Jawa dalam memaknai kebersamaan dengan sesama. Srawung dengan orang lain, adalah gambaran keharmonisan dan kebersamaan. Di tengah pasrawungan tersebut muncul penghargaan dan penghormatan kepada liyan. Jika kebersamaan, keharmonisan dan penghormatan telah muncul melalui pasrawungan, apa lagi yang kita cari? Bukankah dengan demikian, kita telah mencapai puncak kemanusiaan?

Dalam puncak kemanusiaan, niscaya tidak ada kesewenang-wenangan. Tidak ada yang memikirkan diri sendiri. Tidak ada yang hidup seenaknya. Tidak ada kelaparan dan kekurangan makanan. Maka tidak heran kalau ada sahabat yang berkelakar: mangan ora mangan, anggere kumpul. Yen kumpul terus, suwe-suwe rak yo mangan. Jika dimaknai secara mendalam, guyonan sahabat itu sangat beralasan, karena manusia sudah menemukan esensi hidupnya.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Tuhan Yesus pernah memberikan kritik tentang cara hidup manusia pada umumnya, yaitu bahwa manusia ”hanya” memikirkan apa yang nampak secara jasmani, tanpa melihat tanda dibalik peristiwa itu (Yohanes 6:26-29). Pada waktu itu banyak orang mengikuti dan mengagumi Tuhan Yesus. Mereka mengikuti dan mengagumi setiap mujizat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus.

Padahal segala mujizat yang dilakukan oleh TuhanYesus, sebenarnya dimaksudkan sebagai tanda untuk menyatakan keselamatan. Akan tetapi, manusia sudah terlanjur dibutakan oleh hal-hal duniawi, sehingga abai terhadap tanda-tanda yang diberikan. Yang esensial dari tanda itu adalah, manusia harus bekerja untuk memperoleh kehidupan kekal, bukan sekedar bekerja untuk hidup di dunia ini.

Fokus kepada dunia, membuat manusia buta akan karya Allah. Manusia terjebak melihat apa yang nampak, sehingga luput melihat esensi dari yang nampak itu. Alhasil, pikiran pun terkelabui oleh apa yang nampak saja. Misalnya, mudah terkecoh dengan penampilan dan gelar seseorang. Tertipu dengan gaya bicara dan kecakapan orang lain. Tunduk kepada pangkat dan derajatnya. Kagum karena kekayaan dan hartanya.

Dalam menghadapi hal ini, orang Jawa masih mempunyai tameng: Aja gumunan lan aja kagetan. Ungkapan itu menyiratkan sebuah kemampuan untuk mengendalikan diri, sehingga setiap orang tetap berada dalam kondisi eling lan waspada. Nah, tentu saja kita bisa membayangkan bagaimana jadinya kehidupan dunia kelak: sebuah jagat pasrawungan yang dipenuhi oleh orang-orang dalam kondisi eling lan waspada.

Mungkinkah hal itu terwujud? Tentu saja! Sebagai contoh, misalnya: dalam pasrawungan, kita berlatih rendah hati. Dalam kerendahan hati, kita dilatih untuk menghargai sesama. Dalam penghargaan, ada penghormatan. Dalam penghormatan, ada pengakuan. Dalam pengakuan, ada kepercayaan. Jika satu dengan yang lain sudah saling percaya, maka setiap orang tinggal butuh selangkah lagi untuk menjadi eling lan waspada.

Sikap eling lan waspada akan mendorong setiap orang untuk mulai memikirkan sesama. Masing-masing tidak hidup secara egois, melainkan mulai membangun kepedulian. Segala sesuatu dilakukan untuk semakin memperkuat kepedulian. Termasuk mengusahakan makanan bagi kesejahteraan.

Tidak akan ada tengkulak yang menentukan harga seenaknya. Tidak akan ada petani yang dirugikan. Tidak akan tumbuh mini market yang menjamur. Industri rumahan bakal menggeliat hidup. Sektor informal dapat diandalkan oleh masyarakat dari berbagai lapisan.

Di tengah kemakmuran itu, satu dengan yang lain tinggal berproses mempertahankan kejujuran. Yang terpenting dari itu semua, adalah: bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal. (Yohanes 6:27).

Hati dan pikiran yang terarah kepada hidup kekal, adalah hati dan pikiran yang peduli kepada sesama. Dalam hal apakah, kepedulian terhadapa sesama harus diwujudkan? Di bulan penuh berkah ini, saya mengajak setiap orang untuk berbagi dalam acara kembul bujana di acara-acara buka puasa bersama. Jadilah pelopor di masyarakat. Buatlah acara sederhana, berbuka bersama dan berbagi dengan sesama: mangan ora mangan, anggere kumpul. Yen kumpul terus, suwe-suwe rak yo mangan.

 

Pendeta Seno Adhi Nugroho

GKJ Gondokusuman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya