SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Manusia banyak yang terjebak keterasingannya di keramaian. Jangankan dengan orang lain, berkomunikasi dengan dirinya sendiri saja jarang. Apalagi berkomunikasi dengan agamanya. Yang lebih disayangkan kini agama dijadikan komuditas politik untuk meraih “sesuatu” yang sifatnya sementara saja.

Terlebih lagi generasi muda, dimana pada usia ini sangat peka terhadap pengaruh lingkungan global. Arus kemajuan ilmu pengetahuan dapat menjadikannya semakin maju, jika tidak diimbangi dengan mental keagamaan, tidak sedikit remaja yang terjatuh ke jurang penyesalan.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Dalam kaitannya dengan keberadaan agama di Indonesia yang majemuk, mau tidak mau umat beragama saling bertemu dan berinteraksi . Tidak menutup kemungkinan juga munculah sinkretisme antar ajaran agama yang ada.  Walau demikian kemungkinan yang lain juga dapat timbul yang sifatnya persaingan keagamaan baik tertutup maupun terbuka.

Persaingan tertutup, adalah persaingan secara diam-diam, pada bagian ini para penganut agama saling menyusun strategi untuk mengalahkan. Mereka berebut strategi dalam masyarakat, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Mereka berlomba mendapatkan pengaruh. Setelah itu mereka saling mengamati apa yang diperbuat, atau kira-kira dilakukan pihak lain.

Persaingan tertutup jika tidak dicermati penganut agama akan menyebabkan munculnya persaingan terbuka, sehingga memungkinkan sekali terjadinya kekerasan atau konflik agama. Semua akan menonjolkan “kebaikannya, kebenarannya, kelebihannya sendiri-sendiri.”

Semuanya itu pada hakekatnya memperindah sejarah perkembangan agama, namun dianjurkan bagi penganut agama semestinya dapat menfilterisasi semuanya itu dengan daya emosi sehat, dan bukan dengan emosional. Agama Buddha memandang perlunya penempatan permasalahan agama pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu bahwa agama adalah berhubungan dengan hak dan kewajiban Asasi setiap personal yang dibatasi tanggung jawab diri sendiri, bangsa dan negara. Sehingga dalam menjalankan kewajiban beragama selalu memperhatikan batas-batas aturan yang ada,  baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Kesemuanya tadi akan membawa masyarakat dan bangsa menuju pada kesejahteraan dan kemakmuran. Sehubungan dengan hal ini Sang Buddha telah menggariskan adanya tujuh syarat (Maha Parinibbana Sutta)  untuk menuju pada kesejahteraan suatu bangsa, yaitu: 1) Sering mengadakan pertemuan untuk musyawarah mencapai mufakat. 2) Di bermusyawarah selalu menjunjung tinggi perdamaian. 3) Adanya penyesuaian aturan dan hukum yang seirama dengan perkembangan zaman. 4) Terwujudnya rasa hormat dan bhakti, serta pernghargaan kepada orang yang lebih tua. 5) Adanya perlindungan dan perlakuan hak yang sama bagi kaum wanita. 6) Adanya sikap menghormati serta menghargai terhadap tempat ibadah. 7) Adanya perlindungan hukum terhadap pemuka agama dan kehidupan keagamaan.

Ketika merenungkan kehidupan, atas liku-liku pergerakan dan perubahannya, kita akan melihat semua yang ada sebagai teman dalam penderitaan. Karena kelahiran, usia tua, kesakitan  dan kematian. Kehidupan semua orang adalah sama seperti kehidupan seseorang. Seseorang yang ingin bebas dari penderitaan dan meraih segala cita-citanya.

Kita mesti rendah hati untuk mengingatkan diri kita sendiri, untuk bebuat, berucap, dan berpikir dengan cara seperti itu. Yang tidak berniat memperalat dan melukai orang maupun mahkluk lain. Kita harus melakukan segala sesuatunya semata-mata demi kebaikan, kebahagiaan, dan keselamatan mereka.

Curahkan kebajikan kita untuk kehidupan orang dan mahkluk lain. Dengan rendah hati pancarkanlah cinta kasih dan belas kaih kita. Tingkatkan kekuatan mental dan rasa puas kita. Kita mesti mengisi hati ini dengan kemauan-kemauan baik, dengan murni dan sepenuh hati, kita biarkan hati nurani kita dipenuhi dengan hal-hal tersebut. Juga, kita perlu merenungkan akan ketidakkekalan dari benda-benda. Kita melihat bahwa mereka adalah sulit untuk dipegang serta dipertahankan. Di sana tidak ada benda sebagai diri yang kekal dan abadi, sebagai kita ataupun milik kita. Di dunia yang berkondisi ini, kita merenungkan, agar dapat terbebas dari mereka. Kita dapat terbebas dari belenggu dan ikatannya.

Akhirnya  kita menyadari akan kebenaran alam akan ketanpa akuan. Ketika kekosongan telah timbul di dalam hati kita, serta perasaan kemelekatan telah buang jauh, kita akan memiliki kekuatan yang lebih untuk menolong dan berkorban demi mahluk lain.

Kita akan hidup hanya untuk memberi dan berkorban demi suatu pemurnian dan mengikis keegoan. Kita membiarkan hati dipenuhi dengan kebajikan, kebijaksanaan, kewelasasihan, siap untuk menolong orang lain keluar dari penderitaan dan kesedihan. Siap untuk memberi dan menyebarkan kebenaran. Sehingga semuanya dapat lebih ringan dan welas asih, akhirnya kegelisahanpun sirna.

Sadhu…sadhu…sadhu.

Jiyono

Penyuluh Agama Buddha Kanwil Kemenag DIY

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya