SOLOPOS.COM - KH Abi Sholeh Al Masarany (Nadhiroh/JIBI/SOLOPOS)

KH Muhammad Dian Nafi' (Nadhiroh/JIBI/SOLOPOS)

Nabi Muhammad SAW bersabda,”Ikhtilafi ummati rohmah.” Umat Nabi Muhammad dari segi pengetahuan agama ada yang rendah, sedang dan tinggi. Kalau perbedaan itu terjadi di kalangan umat yang pengetahuan agamanya rendah maka itu bisa menjadi fitnah. Maka, kalau ada perbedaan di antara mereka, tidak membawa rahmat. Mungkin salah satu pihak atau dua-duanya tidak berada dalam penguasaan agama yang memadai.
Di dalam salat juga terjadi perbedaan-perbedaan. Ada sebuah hadis yang artinya “Salatlah kalian sebagaimana kalian menyaksikan aku shalat” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ada sahabat yang salat dekat dengan Nabi dengn cara tertentu. Sebagian lagi melihat salat Nabi dari jauh dan bahkan ada yang sangat jauh. Kemudian masing-masing sahabat memberikan kesaksian tentang salat Nabi. Ada yang melihat dari arah kanan, arah kiri dan belakang. Kemudian ada perbedaan kesaksian. Banyak orang yang menyaksikan salat Nabi. Kesahihan pada saat itu kemudian ditentukan yang menyaksikan dalam posisi apa, jaraknya seberapa dan seterusnya. Sehingga seseorang tidak bisa mengklaim inilah salat Nabi.

Begitu sebagian gambaran tentang adanya perbedaan di umat Islam yang dikemukakan Pengasuh Ponpes Al Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo, KH Muhammad Dian Nafi’, saat ditemui Solopos.com, di Ponpes itu, Senin (23/7/2012).

“Dengan adanya banyak kesaksikan, para ahli hadis atau hukum Islam mencoba untuk tidak meniadakan suatu hadis. Meski tampaknya hadis yang satu dan lain berbeda kemudian dilakukan pelacakan,” ujarnya.
Oleh karena itu, para ulama ahli teori hukum Islam atau ushul fikih kalau mendapati dalil yang sama kuat tapi isinya berbeda maka ditempuh dengan tiga cara.

Pertama, tawaquf (status quo) yaitu hadis itu dibiarkan apa adanya. Hadis atau dalil itu berbeda tapi sama kuatnya. Kedua, jama’ (dikompilasi atau digabung) sehingga muncul pemahaman yang lebih dari itu. Ketiga, dilakukan tarjih yakni dengan menyeleksi karena apapun dan bagaimanapun harus didapat dalil yang paling kuat.

Nabi Muhammad SAW bersabda,”Sesungguhnya ilmu ini merupakan agama maka cermatilah oleh kalian darimana mengambil agama kalian. (HR Muslim)

Dian menyampaikan sifat agama Islam menurut Syeikh Sayyid Sabiq dalam buku Islamuna itu ada empat. Yaitu wahyu, ilmu, kemanusiaan dan kemajuan.

Wahyu itu merupakan informasi yang kualitasnya tertinggi dan hanya diberikan kepada para Nabi dan Rasul.  Wahyu kepada Nabi Muhammad SAW sudah berhenti dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. Tetapi, realitas hidup yang membutuhkan jawaban hukum yang berdasarkan Alquran dan Assunah terus bertambah. Maka disitulah peran dari ahlul ilmi dan para ulama agar pengalaman pengajaran wahyu itu dapat dipahami sesuai dengan semangat ajaran Islam. Yaitu cocok untuk semua waktu dan tempat hidup manusia, cocok untuk generasi awal sampai akhir.

Sebagai agama kemanusiaan, penentuan halal dan haram itu untuk kebaikan manusia bukan untuk kebaikan Allah. Kekuasaan Allah tidak bertambah dan tidak berkurang dengan perbuatan manusia. Maka, sama-sama berbuat kebajikan supaya dipikirkan keseimbangannya antara kesalehan sosial dan kesalehan ritual.

Harus dicari arah agar perbedaan itu bisa menjadi rahmat. Terus belajar dan perdalam pengetahuan. Sebagai agama kemajuan, Islam itu ad din al ishlah. Agama yang korektif atau memperbaiki. Agama yang membawa kedamaian. Agama perdamaian pasti memandang ke depan. Tidak sibuk meratapi tapi energi digunakan untuk menyongsong hidup yang lebih baik.

“Umat Islam dididik berorientasi kepada masa depan yang lebih baik. Tidak terbelenggu masa lalu,” ucapnya.

KH Abi Sholeh Al Masarany (Nadhiroh/JIBI/SOLOPOS)

Ditemui terpisah, pengasuh Ponpes Sayyidina Masaran, Sragen, KH Abi Sholeh Al Masarany, mengatakan Islam memiliki produk Alquran. Kitab suci itu untuk umat Islam. Lantas kenapa ada perbedaan? Yang terjadi bukan perbedaan inti ajaran tapi tatacaranya saja.

“Misalnya ada sales. Produk yang dibawa sama berupa handphone. Penyampaian sales-sales itu akan berbeda dan tidak mungkin sama meski produk yang dibawa sama,” kata dia.

Menurutnya seiring perjalanan, yang beda itu bukan produk ajaran Islam tapi cara penyampaiannya. “Kenapa produk mereka yang disampaikan bukan Alqurannya. Yang disampaikan harus sama Alquran. Cara boleh beda tapi muatan tetap sama,” tegasnya.

Islam itu rahmatan lil alamin. Perbedaan-perbedaan itu tidak usah dipertajam. Masing-masing perawi membawa pengalaman sendiri dan pasti berbeda-beda dalam menyampaikan. Umat supaya berjalan menurut keyakinan sendiri-sendiri.  Di dalam mempelajari agama ada tiga poin yaitu soal sejarah, hukum sebab akibat dan spiritual.

“Belajar sejarah itu bukan sekadar tahu kelahiran Nabi. Namun, tahu tentang sepak terjangnya, akhlak Nabi. Rasul itu millah ibrahim. Beliau belajar Alquran 23 tahun. Kalau ulama, ustaz atau kiai sekarang belajar Alquran berapa tahun? Umatnya Rasul kok sombong, baru beberapa tahun mempelajari Alquran,” paparnya.

Dia berharap para ulama dan ahli-ahli bahasa Alquran mau duduk bersama untuk mencari petunjuk bagi umat. Dia mellihat Alquran masih dilihat dan diterjemahkan sepotong-sepotong.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya