SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Seperti kita ketahui di negara kita ini, yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat serta ajaran agama. Sering sekali kita dengar atau lihat bahwa konflik bisa terjadi atas nama agama atau aliran yang berbeda. Hal itu dikarenakan para penganutnya yang saling memperdebatkan kebenaran agama yang diyakininya masing-masing.

Manusia biasanya sulit sekali menerima perbedaan, padahal kenyataannya kita memang hidup dalam perbedaan itu sendiri. Satu contoh yang paling dekat bisa kita amati dari kedua telapak tangan kita sendiri. Keduanya tidak sama. Saat makan, tangan kanan memegang sendok, tangan kiri memegang garpu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kedua tangan ini berbeda, tetapi justru dalam perbedaan ini mereka memiliki perannya masing-masing dan bisa saling bekerja sama untuk satu tujuan, menunjang hidup kita. Sungguh tidak bisa dibayangkan, apa jadinya kalau kedua telapak tangan kita ini bentuknya sama semua. Kedua-duanya hanya tangan kiri atau kedua-duanya hanya tangan kanan.

Begitu juga dengan keanekaragaman yang ada di Negara kita. Semestinya kita bisa menerima bahwa tiap-tiap agama ini meskipun berbeda, juga menjalankan peran dan bidangnya masing-masing, tujuannya sama-sama mengarahkan manusia menjadi baik.

Setelah kita melihat perbedaan yang ada pada kedua tangan kita sendiri, kita bisa coba melihat pada kedua tangan orang lain yang ada di sekitar kita. Lebih bagus atau jelek tangan siapakah? Jika dalam hal tangan saja, kita bisa merasa bahwa tangan milik kita lebih bagus dari tangan orang lain, maka ada kecenderungan dalam hal agama, kita juga bisa memandang ajaran agama yang kita anut lebih bagus dan memandang rendah ajaran agama yang dianut orang lain.

Raja Asoka memberikan contoh yang sangat bijaksana dalam memberikan penghormatan kepada agama yang kita anut. Raja Asoka menuliskan ajakan itu dalam salah satu prasastinya yang berisi sebagai berikut: “Kita tidak seharusnya memandang rendah, mengecam, atau bahkan menolak paham dari aliran/agama lain. Siapa saja yang menghormati agamanya sendiri dan mencela agama-agama lain, berpikir bahwa ia sedang berbakti pada agamanya sendiri, namun dengan berbuat demikian ia justru melukai agamanya sendiri secara lebih menyedihkan. Dengan menghormati agama-agama lain atas pertimbangan tertentu, seseorang membantu agamanya sendiri untuk tumbuh di samping juga tidak merugikan agama-agama lain”.

Di sini yang lebih ditekankan adalah bagaimana diri kita sendiri dulu sebagai umat Buddha. Pembahasan mengenai agama sepertinya hal yang sangat sensitif, apalagi dengan umat yang kepercayaannya tidak satu versi dengan kita.

Sering kita lupa, bahwa tujuan utama agama adalah untuk mengajarkan kepada manusia tentang bagaimana menjalani suatu kehidupan yang terhormat dan tidak membahayakan serta menemukan pembebasan dari penderitaan fisik dan mental. Ketika kita memilih satu kepercayaan, tidak lantas berarti ajaran agama yang kita pilih bagus sementara yang lainnya jelek. Kita bahagia meyakininya, bahagia menjalaninya semata-mata karena kita “cocok” dengan ajaran agama yang kita anut tersebut. Bukan perihal benar-salah/bagus-jelek.

Tidak jarang di antara kita yang tentu merasa telah mempunyai keyakinan yang kuat dan mantap (saddha) terhadap Dhamma-Vinaya dari Guru kita sendiri, misalnya Buddha Gotama. Seolah tidak ada lagi keragu-raguan (vicikiccha) sedikitpun.

Apa kita benar-benar yakin bahwa kita sudah memiliki saddha itu…? Apakah benar kita se-yakin itu pada isi tulisan yang terdapat dalam Tipitaka….? Kalau kita benar seyakin itu, wuahh..hebat!! Berarti banyak di antara kita yang mengaku sudah mencapai tingkat kesucian Sotapanna. Atau tanpa kita sadari, malah kita ini juga hanya percaya saja dari membaca buku-buku yang berisi Sutta-Sutta (ajaran) atau mendengar dhammadesana dari Sangha…? Sudahkah kita ehipassiko secara sempurna dengan mem-praktek-kan sendiri seluruh ajaran Buddha Gotama…? Sudahkah jalan arya beruas delapan tersebut kita buktikan sendiri, bukan cuma mengerti secara baik teori dhamma belaka…? Kalau belum, maka janganlah dulu kita terlalu percaya diri atau bangga dengan ajaran agama kita sendiri. Juga janganlah kita menganggap bahwa hanya ajaran agama kita sendirilah yang paling mulia, sementara yang lainnya keliru.

Dalam Tipitaka yang kita percayai (namun bukan yang kita terima begitu saja),

memang ada disebutkan bahwa selama ajaran dari seorang Buddha belum lenyap, maka Buddha yang baru tidak akan muncul. Seperti yang kita ketahui saat ini ajaran dari Buddha Sakyamuni masih ada. Kalaupun ada desas-desus muncul Buddha baru, atau  2012 akan kiamat pastilah bukan di Bumi tempat kita tinggal saat ini, melainkan di Bumi (alam) yang lain lagi. Karena Dhamma/ajaran dari para Buddha adalah sama, menyangkut Empat Kesunyataan Mulia. Kita masih berada dalam masa kejayaan Dhamma, di mana masih banyak buku berisi Dhamma dari Sang Guru, masih banyak Sangha, bisa disimpulkan kedatangan Buddha yang baru ke Bumi kita ini masih sangat lama sekali, kita sendiri masih dapat bertumimbal lahir dalam banyak lagi kehidupan sebelum kepunahan Dhamma ini. Kita boleh saja mempercayai, tapi belum tentu setiap orang juga akan “sesuai” dengan paham kita.

Sekali lagi, inilah yang dinamakan perbedaan itu. Ada seni dalam kehidupan kita. Kelihatan beraneka, namun di dalamnya tetap hanya satu Dhamma (kebenaran). Seperti sebuah taman bunga yang indah karena terdiri dari berbagai macam bunga dan corak warnanya, namun sesungguhnya itu yang membuat taman bunga itu menjadi indah untuk dipandang mata, hanya kita sendiri yang melihatnya sebagai berbeda dan kompleks. Begitu juga dengan berbagai aliran kepercayaan yang berbeda-beda, pikiran kita sendirilah yang melabelinya dengan berbagai macam merk.

Agama apapun yang pada dasarnya mengarah pada “Hindari kejahatan, Lakukan Kebajikan, Sucikan Pikiran”, maka agama tersebut sesuai dengan Dhamma. Ada banyak cara pendekatan meraih kebahagiaan batin. Ritual ataupun berbagai macam metode dari masing-masing umat agama hanya merupakan “tradisi” atau sebuah “kebiasaan” yang mereka jalani, yang mereka percayai. Jadi, tidaklah perlu (perbedaan) dipermasalahkan. Senantiasa belajar menyesuaikan diri pada setiap kondisi yang berbeda. Jangan menyulut pertentangan/permusuhan. Sebaliknya, pupuklah persahabatan dengan menjaga kerukunan dengan sesama, saling menghargai perbedaan. Semoga Semua Makhluk Bahagia…

Berikut ini saya juga mengutip beberapa pernyataan untuk bersama kita renungkan sejenak.

Mahatma Gandhi
Kita tidak bisa mengharapkan negara kita berkembang menjadi hanya satu agama yang sama semua, tetapi dalam perbedaan-perbedaan agama itu kita belajar bersikap toleran dan dapat bekerja sama satu sama lain.

Buddha Gotama (Majjhima Nikaya).
O para Bhikkhu, bahkan pandangan ini – Dhamma, yang begitu suci dan begitu jelas, jika Engkau mencengkeramnya kuat-kuat, jika Engkau menimang-nimangnya, jika Engkau melekat padanya, maka Engkau tidak mengerti, bahwa ajaran itu sama seperti sebuah rakit, yang mana digunakan untuk menyeberang, bukannya untuk digenggam erat-erat.

Oleh Jiyono

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya