SOLOPOS.COM - Beberapa laki-laki asal Semin beristirahat di emper kios Pasar Klewer bagian timur, Selasa (11/12/2012) malam. Tempat ini menjadi penginapan bagi mereka di malam hari.(JIBI/Koran O/Adib Muttaqin Asfar)

Sudah tujuh hari lamanya Soeparso tidak pulang. Dia tahu keluarganya di Semin, Gunung Kidul, sudah menunggunya di rumah. Namun dia belum tahu kapan dia bisa kembali berkumpul dengan keluarganya.

“Belum tahu, Mas. Belum ada rencana kapan pulang soale niki dagangan tasih kathah [ini dagangan masih banyak]. Namanya juga cari uang,” katanya saat ditemui Koran O di utara Museum Keraton Kasunanan Surakarta, Senin (10/12/2012) lalu.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Soeparso (Adib Muttaqin Asfar/JIBI/Koran O)

Langkahnya sudah tidak lagi tegap. Bahkan badannya sudah membungkuk. Siang itu sambil terbatuk ringan, dia menyeruput teh manis dari dalam cangkir besi tuanya. Seperti tak ingin menunjukkan kondisi fisiknya yang semakin renta, dia tak mau hanya termenung menunggu kedatangan calon pembeli. Sambil duduk di tepi jalan, tangannya sibuk memutar-mutar ethek-ethek (mainan dari bambu yang diputar-putar) atau peluit bambu. Tak banyak yang tahu usianya sudah mendekati satu abad.

“Tahun ini saya sudah hampir 100 tahun, beberapa tahun lalu saya sudah 95. Alhamdulillah, sampai sekarang masih kuat. Lihat saja orang-orang seusia saya, tidak ada yang kuat memikul sebanyak ini,” ujarnya.

Tak ada kata pensiun meskipun manusia lain seusianya tinggal duduk di rumah menikmati hari tua. Tuntutan mencari uang lah yang membuat Soeparso harus lebih sering berpisah dengan keluarga dan rumahnya. Sekali keluar dari kampungnya, Soeparso bisa menghabiskan waktu sampai satu pekan atau bahkan lebih dari setengah bulan. Setiap kali berangkat ke Solo atau kota lain untuk berjualan sepikul mainan tradisional itu, dia memang tidak bisa memastikan kapan bisa pulang. Maklum dia juga tidak pernah tahu kapan dagangannya bisa habis terjual.

Tak ada yang menjamin dagangannya selalu laku meskipun terkadang dia merasa begitu mudah mendapatkan uang. Terkadang Soeparso bisa cepat pulang lantaran dagangannya sudah laku banyak hanya dalam tiga hari. Namun yang jelas, ketidakpastian sudah jadi makanannya sejak mulai berjualan kerajinan khas Semin ini sepuluh tahun lalu. Sebelumnya dia juga sudah pernah menjalani kehidupan serupa saat tubuhnya masih bertenaga dulu di Surabaya. “Sudah biasa bagi saya, dulu di Surabaya saya jualan lengo pet [minyak tanah] keliling, tiga tahun,” kenangnya. “Sekarang ganti jualan ini saja.”

Demi menjual mainan dan suvenir berbahan dasar bambu itu, Soeparso menjalani kehidupan yang jauh dari layaknya orangtua pada umumnya. Usai berjualan di lingkungan tembok Baluwarti dan Alun-alun Utara Keraton Kasunanan hingga magrib, tempat yang dituju adalah Pasar Klewer. Di salah satu pasar tradisional tertua Indonesia itulah dia melepaskan rasa letihnya.

Cukup dengan menggelar selembar karung goni di emper deretan kios Pasar Klewer yang dingin, Soeparso merebahkan tubuh tuanya. Tak perlu kos atau penginapan yang layak karena baginya itu tak berguna dan mengurangi pendapatannya, apalagi jika penjualan sedang seret. “Mboten nate sakit [tidak pernah sakit] kok,” ujarnya sambil menahan pilek. Buat dia, flu, pilek dan semacamnya memang bukan penyakit tapi cuma gangguan kecil sehari-hari.

Emper Toko

Di depan deretan Pasar Klewer bagian timur itu, Soeparso memang tidak sendirian. Ada sejumlah laki-laki asal Semin lainnya yang juga tidur di tempat tersebut. Kadang mereka harus tidur berdampingan dengan para tuna wisma yang juga menjadikan tempat itu sebagai penginapan. Tempat  itu memang sengaja dipilih karena dekat dengan tempat mereka berjualan di lingkungan Keraton.

Beberapa laki-laki asal Semin beristirahat di emper kios Pasar Klewer bagian timur, Selasa (11/12) malam. Tempat ini menjadi penginapan bagi mereka di malam hari.

Beberapa laki-laki asal Semin beristirahat di emper kios Pasar Klewer bagian timur, Selasa (11/12/2012) malam. Tempat ini menjadi penginapan bagi mereka di malam hari.(JIBI/Koran O/Adib Muttaqin Asfar)

“Menginapnya di sini saja, tidak usah kos karena tidak setiap saat di sini. Tapi kalau cari tempat tidur lain ya kejauhan,” kata Romorejo, laki-laki asal Sumberan, Semin, dua pekan lalu.

Tubuh Romorejo memang sudah tidak perkasa. Suaranya tidak lagi keras dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk sambil menunggu pembeli. Maklum usianya sudah menginjak 83 tahun. Karena itu Romorejo sudah tidak kuat lagi mengangkut barang dagangan sebanyak rekan-rekannya yang berusia lebih muda. Paling-paling dagangannya hanya setengah dari yang dibawa pedagang asal Semin lainnya.

Sebagian laki-laki Semin ini masih berusia muda. Namun orang-orang berusia lanjut seperti Romorejo dan Soeparso selalu muncul di antara mereka. Mereka tetap bekerja meskipun banyak orang yang menyarankan agar tinggal di rumah saja. Romorejo punya keluarga di sekitar Solo, yaitu salah satu anaknya yang tinggal di Makamhaji, Kartasura. Tapi dia enggan datang ke sana karena terlalu jauh bagi jangkauannya.

“Dia jadi penjahit di sana, kadang ke sini kalau ingin ketemu saya. Mereka sih maunya saya di rumah, tapi namanya orangtua kalau nganggur badan jadi kaku semua,” kata Romorejo.

Di usia senjanya, Romorejo memang masih senang mencari uang meskipun kondisi fisiknya sudah melemah. Karena itu dia memang lebih banyak berjualan di luar kota dari pada tinggal di kampung. “Hidup di desa itu sulit, jadi mending cari duit seperti ini.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya