SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Ticket war online atau perang tiket secara daring begitu sengit. Penjualan tiket konser kelompok musik asal Inggris, Coldplay, ludes dalam hitungan detik. Tiket dengan kategori ultimate experience seharga Rp11 juta langsung habis terjual tidak kurang dari 15 menit.

Coldplay akan menggelar konser pada 15 November 2023 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Acara masih enam bulan lagi, namun penjualan tiket memantik kekisruhan di mana-mana, terutama antarpenggemar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pembelian tiket sangat tergantung pada kecepatan jaringan Internet, kapasitas perangkat elektronik yang digunakan, hingga teknik “mengklik” secara cepat dan tepat.  Hal itu dinilai banyak kalangan tidak adil karena hanya penggemar dari kalangan tertentu yang dapat mengakses dan mendapatkan tiket dengan mudah.

Itu diperparah dengan munculnya calo di mana-mana, menjual tiket dengan harga tidak logis, mencapai lima sampai 10 kali lipat daripada harga normal. Penjualan tiket konser atau pertunjukan musik secara daring sebenarnya memudahkan penggemar agar tidak menimbulkan kerumunan, tidak capek antre, tidak berdiri di depan loket dengan peluh keringat.

Mereka cukup duduk manis atau rebahan di kasur lalu memesan tiket lewat smartphone yang digenggam. Kini sistem penjualan semacam itu justru memunculkan persoalan-persoalan baru yang tak kalah pelik. Sistem penjualan tiket daring melahirkan banyak usaha “jasa titip (jastip) tiket” dan dengan mudah  usaha itu kita temui di pelbagai laman media sosial.

Tentu saja harga yang ditawarkan lebih mahal, namun memesan tiket lewat jastip dirasa lebih efisien karena kemungkinan besar bisa mendapatkan tiket yang diinginkan tanpa “perang”. Jenis usaha jastip semakin tumbuh subur, terutama sejak artis-artis dari Korea Selatan melakukan tur di Indonesia.

Sampai pada titik ini seolah-olah ada efek domino sengkarut masalah. Pertama, penjualan tiket daring diniatkan mereduksi tubuh agar tak berkerumun, tidak capek, siapa saja dapat memesan dari manapun. Kedua, ternyata terjadi monopoli pembelian tiket oleh kalangan tertentu, terutama jastip.

Jastip memiliki banyak sumber daya manusia yang secara khusus dipersiapkan untuk memburu tiket, bertarung dengan penggemar senyatanya. Jumlahnya banyak dan dengan perangkat teknologi mumpuni tentu akan mengalahkan penggemar sejati yang sekadar berbekal telepon pintar dengan sinyal kembang kempis di pojok kampung.

Ironisnya, dengan sistem penjualan tiket demikian, banyak orang yang menggunakan bot, aplikasi perangkat lunak yang mampu melakukan tugas berulang secara otomatis dan terus-menerus sesuai degan instruksi atau input tugas terprogram. Pada kasus penjualan tiket daring, bot ini bertugas mengklik pada bagian tertentu secara terus-menerus.

Bayangkan yang diklik adalah tiket yang tersedia. Jangan harap penggemar lain bisa mendapatkannya karena mesin tentu lebih cepat dan akurat dibanding tangan manusia yang kadang jari jempolnya terlalu besar untuk mengklik tombol digital sekecil lalat.

Wajar apabila setelah beberapa menit situs penjualan tiket dibuka, tiket dengan segera ludes tanpa sisa. Banyak penggemar yang merasa heran sekaligus marah. Mereka menunggu sejak beberapa jam sebelum situs penjualan resmi dibuka, namun setiap mau mengklik, tiba-tiba ada pemberitahuan tiket sold out atau habis terjual.

Belum lagi jika situs penyelenggara berulang kali eror, maintennance, dan gangguan. Itu terjadi karena banyak pengunjung yang mengakses dan dapat dipastikan banyak di antara mereka adalah perusahaan jastip dan mesin-mesin bot. Akibat hal itu, beberapa penggemar meluapkan kekesalan.

Sebagaimana banyak disampaikan lewat media sosial seperti Twitter, penggemar mengeluhkan pihak-pihak yang menggunakan bot dalam memesan tiket dan oleh karena itu banyak yang menghendaki penghapusan sistem pembelian tiket secara online dan kembali menggaungkan ke model antrean fisik dalam membeli tiket.

Antrean fisik dirasa lebih manusiawi, tidak membedakan antara satu penggemar dengan yang lain, semua berpanas-panasan demi mendapat tiket. Sementara sistem online hanya dimonopoli oleh sebagian kalangan. Ketika tiket sudah habis, yang muncul kemudian para calo. Penggemar dengan dana pas-pasan semakin terserak paling pinggir.

Pertunjukan musik hari ini menciptakan ekosistem baru. Menariknya, bukan saja karya musiknya yang layak untuk dibicarakan, namun juga kisah-kisah di baliknya, tidak terkecuali urusan pembelian tiket yang tidak jarang berujung hanya sebagai gimik semata.

Tiket konser Coldplay paling mahal yang awalnya hanya belasan juta rupiah, tiba-tiba oleh calo menjadi Rp90 juta, bahkan saat artikel ini saya tulis mungkin sudah lebih dari Rp100 juta. Anehnya, harga selangit itu pun terbeli dalam hitungan detik.

Penggemar yang berhasil membeli ramai-ramai mengunggah foto tiketnya di media sosial, disertai dengan kata-kata penuh motivasi dan perjuangan berliku. Mendapatkan tiket itu adalah ajang menarik untuk berpamer diri.

Bisa jadi pembeli bukanlah fans Coldplay, namun bertekat mendapatkan tiket semahal apa pun untuk konten di media sosial agar viral dan dibicarakan. Hasil akhirnya adalah monetesasi iklan.

Histeria

Logika sederhananya, kenapa harus membeli tiket ratusan juta rupiah, jika dengan uang dalam jumlah sama dapat melihat konser Coldplay di luar negeri seperti Australia maupun Malaysia yang penjualan tiketnya tidak sehisteria di Indonesia.

Dengan kata lain, membeli tiket musik dengan harga di luar nalar adalah gimik semata. Persoalan menonton konser tidaklah penting, namun berhasil memenangi perang tiket itu sebuah kebanggaan yang patut disombongkan.

Lihatlah di lini masa media sosial, ramai-ramai mengunggah tiket menjadi tontonan yang jamak dijumpai. Banyak yang menawarkan tiket yang diperoleh itu untuk dijual kembali. Ketika tiket sudah di tangan, seolah-olah tidak ada lagi tantangan yang dapat diperjuangkan.

Banyak yang larut dalam histeria perang tiket, bahkan dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan pinjaman online (pinjol). Hal yang demikian terlalu sulit untuk dinalar. Urgensi menonton konser musik menjungkirbalikkan logika ekonomi (kebutuhan sandang, pangan, papan).

Mereka rela terjerat utang asalkan dapat membeli tiket. Terkait hal ini, kiranya pemerintah dapat membuat regulasi yang lebih bijak tentang mekanisme dan ekosistem penjualan tiket yang ideal. Tumbuh suburnya calo menyebabkan daya hidup pertunjukan musik tidak sehat.

Selain itu, ketidakadilan dan monopoli dalam pembelian tiket secara daring juga harus dicarikan solusi. Jangan sampai pertunjukan musik yang seharusnya menjadi hiburan menyenangkan, tiba-tiba berujung tragedi, penipuan, terlilit hutang, bahkan merelakan harga diri untuk sekadar bisa berpamer tiket di media sosial. Sementara urusan lagu-lagu Coldplay tak penting untuk dimengerti, apalagi dihafal. Aduh!



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 Juni 2023. Penulis adalah etnomusikolog dan pengajar di Institut Seni Indonesia Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya