SOLOPOS.COM - Proses pembakaran bahan sebelum ditempa mejadi gamelan di Desa Wirun, Mojolaban, Sukoharjo, Jumat (24/6/2022). (Solopos/Magdalena Naviriana Putri)

Solopos.com, SUKOHARJO — Kalangan perajin gamelan di Desa Wirun, Mojolaban, Sukoharjo, mengeluhkan biaya produksi gamelan yang dari hari ke hari kian mahal. Harga bahan baku yang dibutuhkan untuk produksi gamelan melambung dua hingga tiga kali lipat mulai dari tembaga hingga timah.

“Ada dua kesulitannya. Satu bahan baku itu, yang kedua kertas. Kertas itu uang maksudnya, modal. Soalnya biaya kebutuhan produksi satu set saja sampai Rp350 juta,” kata salah seorang perajin gamelan, Sanjoyo, saat ditemui Solopos.com di rumahnya di Wirun, Jumat (24/6/2022). Belum lagi, ungkap dia, bayang-bayang cuaca hujan jadi hambatan lain sulitnya mencari arang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dia menambahkan harga bahan baku tembaga yang dulunya hanya berkisar Rp60.000/kg kini mencapai Rp130.000/kg. Sementara bahan lain seperti timah mencapai Rp600.000/kg dari harga awal Rp250.000/kg. Hal tersebut otomatis akan meningkatkan biaya produksi sedangkan pesanan berkurang selama pandemi.

Dia menjelaskan harga satu set gamelan dengan standar biasa kini dibanderolnya dengan harga Rp550 juta sementara untuk kualitas super biasanya mencapai Rp1 miliar. Selama dua tahun terakhir hanya pihak instansi saja yang membeli orderan set gamelan, biasanya pelanggan berasal dari Jogja.

Sementara bagi sebagian besar wilayah Soloraya hanya membeli eceran berupa gong peresmian. Dalam pembuatannya, kualitas dan harga gamelan terbagi dalam tiga bahan seperti perunggu, kuningan dan besi.

Baca juga: Ini Persiapan Perajin Gamelan Wirun Sukoharjo Sambut Delegasi G20

Waktu pembuatan juga tak sebentar misalnya dalam pembuatan dua kempul saja membutuhkan waktu satu hari. Hal itu juga setara dengan waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan satu buah slentem maupun empat buah bonang.

“Pas hampir mau corona [pandemi Covid-19] semua barang sulit dicari dan harga naik. Musim hujan juga kadang arang jadi sulit. Ada 30 karyawan dari proses lebur, mencetak, membentuk, sampai pengaturan nada dan finishing. Sekarang paling hanya 15 orang,” kata dia.

Dalam laman pidekso.sukoharjokab.go.id yang diakses Jumat disebutkan kerajinan gamelan di Desa Wirun sudah ada sejak tahun 1956 dengan perajin pertama Reso Wiguno.

Baca juga: Jos! Tiap Kecamatan di Sukoharjo bakal Dapat Bantuan Gamelan pada 2023

Sanjoyo yang merupakan generasi ke-3 keturunan Reso Wiguno itu mengatakan kakeknya dahulu adalah seorang Empu Keraton Kartasura sejak 1930. “Kalau saya generasi ke-3, meneruskan kerajinan dari kakek saya. Kalau kakek saya perajin pertama di Desa Wirun. Beberapa perajin di sini juga dahulu belajar dari sini,” jelasnya.

Memenuhi Standar Khusus

Sanjoyo menyebut saat ini ada 17 perajin di Kecamatan Mojolaban. Dari 17 orang tersebut tersebar di dua desa, yaitu 11 perajin berada di Desa Wirun sementara enam di antaranya berada di Desa Laban. Angka tersebut terbilang menurun mengingat sebelum pandemi di Desa Wirun sendiri ada 15 perajin.

Lebih lanjut menurutnya, tak ada persaingan di antara para perajin. Mereka justru saling memberi pekerjaan apabila tak bisa memenuhi jumlah produksi. Namun tentunya kualitas gamelan juga harus memenuhi standar khusus yang telah ditetapkan.

Baca juga: Perajin Gamelan Sukoharjo Curhat Pesanan Sepi dan Bahan Baku Mahal

Tak hanya membuat set gamelan, Sanjoyo juga menerima pesanan berupa miniatur set gamelan yang dibanderol dengan harga Rp40 juta per set. Namun pembuatannya juga tak mudah mengingat miniatur gamelan tersebut pembuatannya hampir sama dengan pembuatan gamelan pada umumnya hanya saja berbeda ukuran.

Dia berharap gamelan masih terus dapat lestari. Bahkan dia telah menularkan pekerjaannya itu kepada ketiga anaknya agar kelak pembuatan kerajinan itu masih terus berlanjut.

Diberitakan sebelumnya, para perajin gamelan di Desa Laban, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, tengah berhenti berproduksi disebabkan harga bahan baku semakin mahal. Selain itu, pesanan gamelan selama pandemi Covid-19 juga cenderung sepi.

Baca juga: Gamelan dan Harmoni di Sekolah

Salah satu perajin gamelan di Dukuh Jatiteken, Laban, Sundoyo, 56, mengaku di desanya sedang sepi pembuatan gamelan, sebab harga bahan baku yang kian melejit. Sundoyo menambahkan selama pandemi pesanan gamelan cenderung sepi.

Kalaupun ada order, lanjut dia, saat ini pemesan tidak melakukan pembayaran di muka terlebih dahulu sehingga perajin cukup kerepotan untuk memutar roda perekonomian. Pasalnya, ungkap Sundoyo, satu set gamelan berbahan dasar perunggu bisa mencapai Rp450 juta sedangkan untuk satu set gamelan berbahan dasar besi seharga Rp80 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya