SOLOPOS.COM - Seorang warga melihat-lihat kondisi kayu tua yang diyakini sebagai perahu atau gethek Joko Tingkir di Punden Domba di Dukuh Butuh, Desa Karangudi, Ngrampal, Sragen, Jumat (16/10/2020). (Solopos/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN – Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya meninggal dan dimakamkan di Dusun Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Sragen. Tak jauh dari jasad Raja Pajang itu bersemayam, ada bongkahan kayu keropos tak berbentuk sepanjang sekitar empat meter yang diyakini sebagai bekas perahu Joko Tingkir.

Kayu itu diletakkan di bangunan beratap asbes di Punden Domba. Kayu itu dulunya bagian dari perahu atau gethek yang dinaiki Joko Tingkir menuju. Konon, perahu itu didorong sekawanan buaya saat Joko Tingkir melintasi Bengawan Solo pada awal abad XVI.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Perahu tersebut ditempatkan di dekat pohon kesambi yang umurnya lebih tua daripada umur gethek tersebut. Lingkungan sekitar pohon kesambi itu disebut Punden Domba.

Di sebelah timur punden itu terdapat sendang tetapi dibuat seperti sumur yang dikenal dengan nama Sendang Klampok karena dulu ada pohon klampok, yakni seperti sejenis jambu air. Kini, pohon klampok itu tiada dan tergantikan dengan pohon beringin.

Baca Juga: Menengok Lagi Kisah Joko Tingkir, Raja Pajang yang Dimakamkan di Sragen

“Dulu pernah ada banjir karena luapan Bengawan Solo. Perahu itu bisa berjalan sendiri sampai Dukuh Jaten [masih wilayah Karangudi] dan saat menjelang surut, perahu itu kembali lagi ke lokasi sekarang,” ujar Suwarno, 62, warga RT 015, Dukuh Butuh, saat berbincang dengan Solopos.com, Oktober 2020.

Cerita itu dibenarkan sesepuh Dukuh Butuh, Mbah Naryo, 76, saat ditemui secara terpisah pada waktu yang sama. Mbah Naryo yang tinggal di RT 014, Butuh, pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri peristiwa perahu Joko Tingkir berjalan sendiri saat ia masih kecil. Saat itu, kata dia, perahu itu masih relatif utuh yang panjangnya sampai 15 meter.

“Dulu ada rantai yang terbuat dari emas dan cadiknya. Sekarang rantai dan cadik itu sudah menghilang menjadi gaib. Cerita dari simbah-simbah dulu, Kiai Karebet [Joko Tingkir] menaiki perahu itu muter-muter dan akhirnya tiba di dukuh ini bisa menemukan apa yang dibutuhkan sehingga diberi nama Dukuh Butuh. Tempat muter-muter itu jadi Dukuh Nguter,” kata Mbah Naryo.

Mbah Naryo mencatat Dukuh Butuh yang ada di Sragen berkaitan dengan petilasan Joko Tingkir. Ia mencatat ada empat dukuh dengan nama Butuh. Ia tak mengetahui asal muasal perahu Joko Tingkir itu. Ia menduga perahu itu dibuat dari berbagai jenis kayu dan disabda jadi perahu.

Baca Juga: Cerita Perahu Joko Tingkir dan Asale Dukuh Butuh di Ngrampal Sragen

Pencarian Joko Tingkir

Terkait dengan cerita buaya yang mendorong perahu Joko Tingkir, itu terjadi saat pria yang memiliki nama kecil Mas Karebet itu diminta mencari Sunan Kalijaga untuk berguru. Namun semuanya diawali saat Joko Tingkir berupaya mencari ayahnya Kia Ageng Kebo Kenang.

Menurut pemerhati sejarah yang tinggal di Dukuh Butuh, Banaran, Sambungmacan, Priyanto, 57, yang diwawancara pada 2020,  dalam pencarian itu Joko Tingkir bertemu dengan Ki Ageng Banyu Biru. Ki Agung Banyu Biru sudah menyiapkan perahu di sebuah embung. Perahu itu terus berputar-putar hingga datang calon pemiliknya yang tidak lain Jaka Tingkir.

Setelah memberi bekal ilmu, Ki Ageng Banyu Biru meminta Joko Tingkir mencari kedua orang tuanya dan turun pertama di perairan Bengawan Solo. Wilayah itu kini dikenal sebagai Kedung Tingkir, lokasinya di sekitar Ngrejeng, Sambungmacan.

Dari lokasi itu, Joko Tingkir bergerak ke timur dan berhenti di Butuh wilayah Jenar, kemudian berhenti di Butuh Banaran. Saat di Butuh Banaran itulah, Joko Tingkir bertemu ibunya, Nyi Ageng Pengging.

Baca Juga: Misteri Umbul Senjoyo, Petilasan Jaka Tingkir di Salatiga

Makam Nyi Ageng Pengging masih ditemukan di Butuh, Banaran. Oleh ibunya, Joko Tingkir supaya belajar kepada sosok syekh yang menjadi guru para wali yang dikenal dengan nama Syekh Iman Sampura.

“Saat itulah, Joko Tingkir diarahkan untuk mencari Sunan Kalijaga di alas Ketangga. Joko Tingkir pun kembali menaiki perahu menuju ke Butuh Karanganyar, Ngawi, kemudian berhenti di Dukuh Butuh wilayah Payak, Widodaren, Ngawi. Jaka Tingkir berjalan darat menuju alas Ketangga. Di alas itulah, Joko Tingkir bertemu Sunan Kalijaga dan Brawijaya V [Raja Majapahit]. Jaka Tingkir ini masih keturunan Brawijaya V. Di tempat itu, Jaka Tingkir menerima wahyu raja,” terangnya.

Raja Buaya

Setelah dari situlah, Jaka Tingkir melanjutkan perjalanan mencari ayahnya, Kebo Kenanga. Saat hendak mengambil perahu, ada raja buaya bernama Raja Puan atau dikenal dengan nama Baureksa mengadannya.

Joko Tingkir bertarung melawan buaya itu dan akhirnya menang. Raja buaya itu ingat dengan pesan Brawijaya V sebelum mengutuknya jadi buaya.

Baca Juga: Menelusuri Jejak Raja Pajang Jaka Tingkir di Desa Krebet Masaran Sragen

“Kalau ingin menjadi manusia kembali, Raja Puan harus membantu pemuda yang bernama Tingkir. Akhirnya Joko Tingkir menaiki perahu dengan melawan arus Bengawan Solo menuju barat. Saat itulah perahu Jaka Tingkir didorong oleh sekawanan buaya anak buah Raja Puan. Hingga sampai di Butuh Gedongan bertemu Ki Ageng Pengging,” terang Priyanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya