SOLOPOS.COM - Sejumlah warga menandatangani surat kesepakatan bersama saat deklarasi warga Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan untuk alih fungsi wisma dan alih profesi bagi wanita harapan (Dolly) di Islamic Center Surabaya, Jatim, Rabu (18/6/2014). Kemensos mengucurkan dana sebesar Rp 7,3 miliar untuk pemberdayaan di Lokalisasi Dolly Surabaya dengan menyiapkan Usaha Ekonomi Produktif (UEP), Jaminan Hidup (Jadup) rehabilitasi sosial bagi Wanita Tuna Sosial (WTS), serta dana transportasi bagi 1.449 wanita mantan penghuni Dolly untuk pulang ke daerah asal. (JIBI/Solopos/Antara/Eric Ireng)

Solopos.com, SURABAYA – Lokalisasi Dolly Surabaya akhirnya resmi ditutup, Rabu (19/6/2014). Dolly dikenal sebagai pusat prostitusi terbesar se-Asia Tenggara. Nyaris puluhan ribu PSK tumpah ruah di tempat prostitusi yang terletak di Warga Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya. Namun tahukan Anda bagaimana awal mula Dolly?

Kisah Dolly muncul dalam buku berjudul Dolly, Kisah Pilu yang Terlewatkan karya penulis Cornelius Prastya R K dan Adir Darma terbitan Pustaka Pena, Yogyakarta, 2011. Satu nama yang tersebut, Dolly Khavit.

Promosi UMKM Binaan BRI Ini Jadi Kuliner Rekomendasi bagi Pemudik di Pekalongan

Kisahnya berawal pada 1967. Saat itu muncul seorang bernama Dolly Khavit, seorang wanita yang konon dulunya juga pelacur, yang kemudian menikah dengan seorang pelaut Belanda.

Dolly merupakan seorang wanita yang memiliki perangai seperti laki-laki, tomboy. Ia lebih suka dipanggil “papi” daripada “mami”. Asal usul Dolly Khavit ada 2 versi. Pertama, peranakan Jawa dan Filipina. Kedua, berdarah Belanda dengan nama asli Dolly van de Mart.

Dari hasil pernikahannya, Dolly dikaruniai putra bernama Edy. Ia juga mengambil anak angkat bernama Bambang. Akhirnya, Dolly memiliki usaha pelacuran. Ia mengangkat mucikari yang diambil dari Kampung Semolosewu (Cemoro Sewu). Ia kemudian mengelola satu wisma bernama Mamamia.

Tak lama setelah itu, dibangun sebuah wisma bernama Barbara yang dikelola keturunan Belanda. Di lokasi itu, muncul kemudian Wisma TKT dan Sembilan Belas. Akhirnya, jadilah perkampungan itu menjadi nama Gang Dolly pada awal 1970.

“Papi Dolly” kemudian tidak hanya memiliki satu wisma, tetapi memiliki empat wisma di kawasan itu. Empat wisma itu masing-masing diberi nama wisma T, Sul, NM, dan MR.

Hal itu juga disebutkan dalam buku berjudul Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Komplek Pelacuran Dolly yang ditulis Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dan diterbitkan oleh Grafiti Pers, April 1982.

Bisnis “Papi Dolly” awalnya sempat dilanjutkan oleh seorang anak hasil hubungan Dolly dengan pelaut Belanda. Namun, usaha itu tidak dilanjutkan setelah anak “Papi Dolly” tersebut meninggal dunia.

Keturunan Dolly disebutkan masih ada yang tinggal di Surabaya, tetapi tidak lagi melanjutkan bisnis itu.

Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal masyarakat luas. Tidak hanya prajurit Belanda saja yang berkunjung, namun warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan PSK. Sehingga kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas pengunjung dan jumlah PSK.

Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi.

Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pelacur di bawah umur, germo, ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada para pengunjung.

Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.

Dolly Versi Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar (1982)

Dolly Versi Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar (1982)

Kisah lain tentang Dolly juga pernah ditulis Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam buku berjudul Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982.

Dolly; Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly (budaya-tionhoa.net)

Dolly; Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly (budaya-tionhoa.net)

Dalam buku itu disebutkan dulu kawasan Dolly merupakan makam Tionghoa, meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede.

Baru sekitar tahun 1966 daerah itu diserbu pendatang dengan menghancurkan bangunan-bangunan makam. Makam China itu tertutup bagi jenazah baru, dan kerangka lama harus dipindah oleh ahli warisnya.

Ini mengundang orang mendapatkan tanah bekas makam itu, baik dengan membongkar bangunan makam, menggali kerangka jenazah, atau cukup meratakan saja.

Setahun kemudian, 1967, muncul seorang pelacur wanita bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghua tersebut. Dia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah pelacuran pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I.

Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul, NM, dan MR. Tiga di antara empat wisma itu disewakan pada orang lain. Demikian asal muasal nama Dolly.

Dolly semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969. Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya