SOLOPOS.COM - Kitab berbahasa Arab berjudul Siraj al-Thalibin karya Syekh Ihsan Dahlan al-Janfasi. Kitab tersebut merupakan syarah Minhaj Al-Abidin karya Imam Al-Ghazali. Siraj al-Thalibin disusun pada 1933 dan diterbitkan pertama kali pada 1936 di Surabaya.

Kitab berbahasa Arab berjudul Siraj al-Thalibin karya Syekh Ihsan Dahlan al-Janfasi. Kitab tersebut merupakan syarah Minhaj Al-Abidin karya Imam Al-Ghazali. Siraj al-Thalibin disusun pada 1933 dan diterbitkan pertama kali pada 1936 di Surabaya.

Ulama besar asal Kediri, Jawa Timur, ini memang tak terlalu populer di Tanah Air. Namun, Ihsan bin Muhammad Dahlan Al Janfasi Al Kadiri ini sangat terkenal di kalangan pelajar di Mesir, khususnya di kalangan ulama Universitas Al-Azhar.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kebesaran nama Janfasi bukan saja karena pesantren yang diasuhnya, tetapi juga oleh karya ilmiahnya dalam ilmu keislaman, khususnya kitab Siraj at Thalibin.

Syeikh Janfasi di kalangan santri lebih dikenal dengan nama Kiai Haji Ihsan, Jampes, Kediri, yang disesuaikan dengan nama kampung tempat ia dilahirkan hingga masa mengasuh pesantren bahkan saat wafat dan dimakamkan.

Kiai Ihsan yang memiliki nama kecil Bakri ini dilahirkan di Kampung Jampes, Desa Putih, Gampngrejo, Kediri pada 1901. Ayahnya, Kiai Muhammad Dahlan, adalah ulama pendiri Pondok Pesantren Jampes yang kini bernama Pondok Pesantren Al Ihsan.

Pada masa kecilnya, Kiai Ihsan dikenal nakal namun cerdas. Ia gemar menonton wayang kulit dan menyukai seni bela diri pencak silat. Ia pertama kali mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya dan neneknya, Nyai Istianah, yang mengasuhnya sejak ia berusia enam tahun.

Bakri kecil meneruskan pendidikannya ke berbagai pondok pesantren di Jawa dan rata-rata waktu dia belajar di pondok-pondok pesantren itu cukup singkat. Hal ini bukan disebabkan kenakalannya, melainkan kecerdasannya menangkap pelajaran di atas kawan-kawan sebayanya.

Di antara pendidikan di pondok pesantren yang ia tempuh yakni di Pesantren Bendo, ke Pesantren Jamsaren Solo dan Pesantren Mangkang di Semarang. Selanjutnya ia berpindah ke Pesantren Punduh, Magelang lalu ke Pesantren Gondanglegi, Nganjuk dan akhirnya mengaji kepada Syeikh Muhammad Khalil di Demangan, Bangkalan, Madura.

Syeikh Khalil memang ternama dan dikenal sebagai guru dari ulama seluruh Jawa abad ke-20. Masa belajarnya tak sampai tahunan di setiap pesantren, namun hanya beberapa bulan saja. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Bakri sudah dikenal sebagai seorang ulama muda yang prospektif.

Pada 1926 ia menunaikan ibadah haji dan semenjak itu namanya diganti menjadi Haji Ihsan, yang lebih populer di kalangan santri dengan Kiai Haji Ihsan Jampes. Pada 1928 ayahanda meninggal, kepemimpinan Pesantren Jampes kosong.

Meski begitu, Kiai Ihsan yang saat itu masih bujangan belum bersedia menggantikan ayahandanya. Pemimpin pondok itu sementara dipegang pamannya, Kiai Haji Khalil sampai 1932.

Baru pada tahun itu, Kiai Ihsan bersedia menjadi pengasuh langsung. Ia berkeras memajukan pesantren tersebut dan membuahkan hasil. Santrinya mencapai 1.000 orang di lembaga pendidikan mulai dari ibtidaiyah hingga tsanawiyah.

Ia mengasuh pondok pesantren itu selama 20 tahun hingga akhirnya wafat saat berusia 51 tahun, tepatnya 16 September 1952. ia dimakamkan di dekat makam ayahnya di kompleks Pesantren Jampes.

Kiai Ihsan memang tak berusia panjang namun bukan berarti makna hidup dan sejarahnya pendek. Ia begitu dikenal di kalangan umat Islam, baik pesantren yang ia kembangkan atau dari perannya sebagai pemimpin umat, panutan masyarakat dan tokoh yang kharismatik.

Syeikh Haji Ihsan terkenal sebagai seorang ulama besar yang memiliki keahlian dan kelebihan dalam beberapa bidang, di antaranya ahli ilmu alat (ilmu-ilmu bahasa Arab) yang sangat terkenal, juga seorang ulama sufi (ahli tasawuf) yang menyeimbangkan pengamalan segi-segi akidah, syariat dan tasawuf, sehingga pengamalan ajaran Islam dapat dilaksanakan secara sempurna.

Pemahaman dan pengamalan Kiai Ihsan dalam dunia tasawuf banyak diwarnai oleh Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali. Ini terbukti pada kitab yang dikarangnya, yakni Siraj at-Thalibin, yang merupakan penjelasan dari Minhaj al-Abidin, kitab tasawuf karya Imam Ghazali.

Siraj at-Thalibin terdiri dari dua jilid besar, dengan jumlah halaman lebih dari 1.089 yang mengupas tentang seluk-beluk ilmu tasawuf dengan segala macam rahasia dan kepelikannya.

Syeikh Ihsan menulis kitab itu pada 1932, atau saat usianya masih tergolong muda, 31 tahun. Usia sangat muda bagi seorang yang terjun di dunia tasawuf. Walau demikian, usia muda tidaklah menjadi sekat bagi kreativitasnya.

Walau kitab ini tergolong kitab tasawuf, namun pembahasannya sangat luas, menyangkut berbagai segi ilmu keislaman. Keluasan pembahasannya tidak terlepas dari pokok permasalahan  yang menunjukkan keluasan wawasan dan kedalaman ilmu pengarangnya.

Siraj at-Thalibin banyak dipelajari di berbagai pondok pesantren di kawasan Tanah Air, terutama di pesantren besar, untuk kalangan santri senior yang telah cukup mempelajari masalah-masalah akidah dan syariat.

Kitab ini di dalam negeri diterbitkan beberapa kali dan masih beredar hingga kini. Di kawasan Timur Tengah kitab ini juga telah diterbitkan di Kairo dan Lebanon. Kitab Siraj at-Thalibin lebih tersebar di kalangan dunia Islam.

Siraj at-Thalibin yang berarti pelita untuk para pelajar diajarkan dan menjadi literatur wajib di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir untuk tingkat semacam pascasarjana. Selain itu juga dipelajari di berbagai universitas besar di negara-negara lain seperti Australia, Kanada yang memiliki jurusan filsafat, Islamologi ataupun teosofi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya