SOLOPOS.COM - Adegan dalam pentas teater berjudul Joko O’o yang dipentaskan Kelompok Laboratorium Teater Usmar Ismail Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Semarang, di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS), Kamis (3/10/2013) malam. (Mahardini Nur Afifah/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Nama Joko begitu terkenal di seantero kampung. Bukan karena prestasi yang luar biasa, melainkan karena kondisi fisik yang jauh dari sempurna. Putra semata wayang Mbok Rondo itu terlahir dengan wajah pas-pasan, bahu melengkung, dan jalannya yang tertatih. Semua itu membuat Joko merasa rendah diri.

Lakon Joko O’o ini mewarnai panggung teater modern yang dipentaskan Kelompok Laboratorium Teater Usmar Ismail Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Semarang, di Taman Budaya Surakarta (TBS), Kamis (3/10/2013) malam. Dikisahkan, Joko yang buruk rupa akhirnya menggugat Dewa. “Saya dihina sama orang-orang kampung. Padahal saya juga punya keinginan biar punya wajah ganteng kayak orang kampung lain,” rengek Joko kepada Dewa.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Di bawah sorot cahaya kemerahan, Dewa datang menyambangi Joko dengan bertelanjang dada, mengenakan jarit selutut, dan memakai sandal tidur Mickey Mouse. Penampilan Dewa yang nyentrik sontak mengundang tawa. “Tapi kalau kamu ingin tahu bisa lebih ganteng apa enggak, cukup bertapa di sana saja,” kata Dewa.

Joko pun menuruti nasehat Dewa dengan bertapa di ujung desa. Dewa pun mengucapkan mantra untuk mengabulkan permohonan itu. Bukannya jadi ganteng, Joko malah berubah menjadi manusia kera. Menyadari mantranya tak manjur, Dewa kembali menyuruh Joko bertapa.

“Aduh dayung, dayung, dayung. Bagaimana nasib kontroversi hati ini kalau sampai gagal mengubah Joko? Pasti semua warga yang ada di sini bakal mengudeta Dewa. Saya akan baca mantra lagi saja barangkali beruntung,” kata Dewa sambil merapal mantra.

Joko pun keluar dari pertapaannya. Wajahnya yang semula mirip manusia kera berubah menjadi pria rupawan. Namun kebahagiaannya tak berlangsung lama karena wajahnya kembali berubah ke wujud aslinya.

Harapan Palsu

Kegundahan hatinya sedikit terobati ketika menemukan selendang milik Sri Ningsih, putri lurah desa sebelah. Atas jasa baik Joko, Ningsih yang cantik berjanji mau meminangnya. Namun akhirnya Ningsih menikah dengan pujaan hatinya yang rupawan ketimbang Joko. Joko terpukul lantaran dua kali menjadi korban pemberi harapan palsu (PHP).

Banyaknya PHP di dunia nyata inilah yang ingin disindir oleh kelompok teater ini. Bukan hanya petinggi negeri dan politisi saja, PHP juga muncul dalam pergaulan sehari-hari. “Jangan coba percaya sama janji-janji orang. Manusia itu sukanya ingkar janji,” kata Imam ditemui selepas pementasan.

Karya drama yang ditulis Atut Adi Baskoro (2007) ini diadaptasi dari kisah rakyat Joko Kendil. Namun Imam memberikan kesegaran lewat kehadiran dialog “kontroversi hati” ala Vicky Prasetyo dan goyang caesar yang sedang jadi trending topic. “Kisah Joko Kendil masih kontekstual hingga saat ini. Tarian dan bahasanya saja yang diganti untuk memberi efek kejut,” jelasnya.

Pertunjukan yang berlangsung selama 1,5 jam ini cukup menghibur sejumlah penonton. “Menurut saya, pertunjukan ini disiapkan dengan sempurna. Walaupun pemain utamanya, Muhammad Maskur, mengalami kecelakaan, tapi nyatanya masih bisa bermain baik. Penggarapannya rapi dan karakternya kuat,” komentar anggota Teater Peron, Murtiningsih, 20.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya