SOLOPOS.COM - Ilustrasi seniman membaca puisi (JIBI/Harian Jogja/Antara)

Pentas musik dari Tak Kie dilantunkan lewat nada dan puisi,

Harianjogja.com, SLEMAN-Sambil menyeruput kopi, aku berpikir tentang yang fana dan abadi. Di luar mungkin sudah sore, dan membuat pertanyaan itu sia-sia. Dengan suaranya yang datar, Theodeorus Christanto, mantan anggota Teater Garasi menyuarakan kalimat itu di sudut panggung. Iringan piano dan petikan senar gitar bertempo rendah mengiringinya.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Dalam deretan sajak itu, kopi dan kisah masa lalu yang abadi seperti dua hal yang tak bisa dipisahkan. Kopi dianggap menjadi saksi paling jujur yang merekam detail setiap adegan dan peristiwa di sekitarnya.

Ekspedisi Mudik 2024

Kedai Tak Kie, sebuah kedai kopi tua dengan bangunan yang sederhana di sudut gang sempit, di kawasan Pecinan Glodok, Jakarta Barat menjadi setting cerita keseluruhan pentas musik berdurasi sekitar 40 menit itu. Kedai itu menjadi tempat bergulirnya berbagai cerita dan kisah. Mulai dari kesetiaan terhadap terus berputarnya jaman hingga nasionalisme yang tanpa batas menjadi bahan cerita yang nyaris selalu berputar dan berganti peran.

Tapi tidak dengan kedai itu. Kedai yang kini dikelola oleh A Yew, generasi kesekian dari pemilik asli Tak Kie itu seperti setia dengan jamannya. Beragam zaman dilewati Tak Kie dengan tetap bertahan pada keaslian identitasnya.

Meski begitu, nasionalisme Tak Kie terhadap Indonesia tak perlu diragukan lagi. Meski memegang teguh “kecinaannya”, tapi para pemilik Tak Kie dari generasi ke generasi tetap bangga tumbuh dan berkembang di tanah Indonesia. Itulah yang kemudian menginspirasi musisi asal Jogja, Erwin Zubiyan dalam mengonsep pergelaran musik bertajuk Serbuk Pahit dan Jalan-Jalan Sempit yang dipentaskannya di PKKH UGM, Sabtu (20/6)/2015 lalu.

Dengan mengajak empat musisi lainnya, yakni Made Anggoro (double bass), Danar Dono (saxophone), Endy Baroque (drum/perkusi), dan Hermani Tri Wardana (gitar), musisi berkepala plontos itu menciptakan lima repertoar yang secara implisit terinspirasi dari kedai yang berdiri sejak 1927 itu. Beragamnya jaman yang dilalui Tak Kie tergambar jelas pada beragamnya genre musik yang dimainkan Erwin Zubiyan, dkk.

Bagi Erwin, warung itu memang bukan warung biasa. Menurut dia, warung tua itu yang tegar bertahan dalam putaran zaman. Bertahan melewati era penjajahan, pergerakan, kemerdekaan, revolusi, Orde Baru, reformasi, hingga era teknologi informasi saat ini. Bertahan dengan karakter yang tetap sama, tak terpengaruh oleh gempuran ribuan coffee shop modern yang sudah jadi bagian dari gaya hidup ibukota. Tidak pula jadi jumawa ketika para pengunjung maupun penulis dari seluruh dunia mengulasnya di berbagai media dengan beragam bahasa.

Lebih dari itu semua, fenomena yang ditangkap Erwin adalah semangat nasionalisme pemiliknya, yang seorang keturunan Tionghoa. Di tengah berbagai gejolak politik yang terjadi di Indonesia, termasuk ketika terjadi prahara yang menimpa etnis Tionghoa seperti dirinya, ia tetap merasa sebagai warga negara dan bangsa Indonesia.

“Sejarah yang berganti, tapi mereka tetap setia dengan identitasnya. Tapi nasionalisme mereka itu yang menginspirasi saya di karya ini,” katanya usai pentas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya