SOLOPOS.COM - Triesanto Romulo Simanjuntak, M.A., Dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.

Sepak bola menempati posisi sebagai cabang olahraga paling populer di dunia (Veroutsos, 2022). Fakta ini juga terjadi di Indonesia. Survei kemudian menunjukkan bahwa di Indonesia, sepak bola menempati urutan teratas olahraga yang paling diminati (Rizaty, 2022). Maka dari itu, event-event sepak bola selalu menempati hati tersendiri bagi masyarakat Indonesia.

Piala Dunia, Euro dan ajang seperti SEA Games selalu ramai menjadi konsumsi publik masyarakat Indonesia. Tak ketinggalan, bagaimana tumbuh dan berkembangnya penggemar klub sepak bola Eropa di Tanah Air. Dan kita juga tentu tidak melupakan fakta bahwa militansi beberapa fans klub lokal Tanah Air tidak perlu dipertanyakan lagi.

Fakta ini kemudian dalam beberapa tahun terakhir membawa elite politik selalu mengumbar janji bahwa Indonesia bisa menghelat event akbar 4 tahunan FIFA di Tanah Air. Harapannya, sebagai sebuah shortcut terhadap partisipasi Timnas Indonesia di Piala Dunia.

Sampai pada akhirnya pada pertemuan rapat Dewan FIFA (council meeting) di Shanghai, Tiongkok tahun 2019 Indonesia berhasil mengalahkan Brasil dan Peru untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada tahun 2021 (Tampubolon, 2019). Memang bukan event utama, namun event Piala Dunia di bawah usia 20 tahun (U-20) dapat menjadi sebuah batu loncatan yang baik terhadap rencana utama yang dipersiapkan mendatang.

Singkat cerita, event tersebut kemudian diundur penyelenggaraannya menjadi tahun 2023 karena pandemi Covid-19. Ketika hitungan hari event akan dilaksanakan, terjadi beberapa kabar menarik dari penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia.

Pada 24 Maret 2023, I Wayan Koster, Gubernur Bali kemudian menolak kehadiran Tim Nasional (Timnas) Israel ke Indonesia (Juniasa, 2023). Penolakan ini kemudian berujung pada penundaan drawing yang akan dilaksanakan pada 30 Maret 2023 oleh FIFA selaku penyelenggara kegiatan.

Tidak hanya Gubernur Bali yang kemudian menyerukan penolakan. Tercatat Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, kemudian melakukan hal serupa (Purbaya, 2023). Jawa Tengah yang menjadi salah satu venue diselenggarakannya pertandingan kemudian menjadi salah satu titik vital terhadap proses penyelenggaraan kegiatan ini.

Bahkan partai politik seperti PDIP, lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga turut menyuarakan penolakan terhadap hadirnya Timnas Israel di Indonesia (Sutari, 2023). Hal ini kemudian membuat Inpres No. 8 Tahun 2020 dan Keppres No. 19 Tahun 2020 sebagai bentuk komitmen tuan rumah yang disiapkan oleh Presiden Indonesia menjadi berantakan ketika beberapa elite politik daerah seakan-akan mengkhianati komitmen sebelumnya.

Untuk memahami konteks (Timnas) Israel ini, kita dapat memahami sebuah pemahaman mengenai “Oposisi Biner”. Melalui bukunya “Critical Discourse Analysis” (Haryatmoko, 2017), Dr. Haryatmoko memberikan sebuah penjelasan bahwa Oposisi Biner hadir melalui sebuah hierarki metafisik yang ada dalam sebuah teks dan juga narasi.

Oposisi biner ini cenderung berusaha untuk memberikan sebuah pemaknaan di mana kehadiran sebuah teks akan disandingkan pada teks lain yang berlawanan supaya meninggikan makna yang sudah ada sebelumnya. Misalnya, suci-dosa, pria-wanita dan juga guru-murid. Teks-teks ini ketika disandingkan akan menjadi sebuah pemaknaan lebih dalam sebuah konteks yang mengikutinya.

Oposisi biner ini kemudian hadir dalam sebuah sistem yang membagi dunia dalam dua klasifikasi yang berhubungan secara struktural.
Terdapat hal menarik dalam pernyataan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar, terkait penolakan Timnas Israel hadir di Indonesia.

“Kita sudah tahu bagaimana komitmen Bung Karno terhadap Palestina,….Sehingga penyelenggaraan Piala Dunia U-20 bisa dilakukan tanpa mengorbankan komitmen panjang kita untuk mewujudkan Palestina merdeka.(Purbaya, 2023)”

Melalui pernyataan ini terdapat sebuah oposisi biner yang terkandung di dalamnya. Bahwa Ganjar menegaskan penolakan terhadap (Timnas) Israel berarti kemudian hadir untuk tetap mendukung Palestina. Apakah benar ketika kemudian kita mendukung Palestina harus kemudian ‘mematikan’ Israel pada kutub sebelahnya?

Israel-Palestina adalah konflik yang bertahan cukup lama Pasca Perang Dunia II. Beberapa negara kemudian melihat bahwa kehadiran Israel di wilayah Palestina dianggap sebagai sebuah ‘penjajahan’ yang didukung oleh negara-negara Barat melalui sebuah praktik politik praktis.

Pada masa Perang Dingin, Israel sendiri hadir sebagai ‘perwakilan’ negara-negara Barat untuk memberikan perlawanan anti-Barat oleh negara-negara Timur Tengah. Kita tentu ingat bagaimana kegagalan Gamal Abdul Naser menasionalisasi Terusan Suez ada andil Israel di dalamnya, dan bagaimana dukungan yang terus-menerus diberikan oleh Amerika Serikat terhadap Israel di wilayah sengketa seperti West Bank dan juga pemindahan Kedutaan besar Israel di Yerusalem pada masa Pemerintahan Donald Trump.

Fakta-fakta ini yang membuat terjadinya oposisi biner bahwa mendukung Israel berarti pro terhadap Barat dan sebaliknya akan membuat hilangnya dukungan terhadap Negara Palestina. Indonesia kemudian telah menghadapi permasalahan sempitnya pemaknaan sosial ini sejak Pemilu 2014. Masyarakat Indonesia seakan-akan telah terbagi hanya dalam dua kutub dari tahun tersebut.

Ungkapan cebong vs kadrun yang mewakili pemilihan terhadap dua kubu pemilih antara Jokowi dan Prabowo merupakan bentuk penyederhanaan terhadap kelompok pemilih di Indonesia. Artinya, ketika ada dukungan terhadap pemilih Jokowi berarti dianggap sebagai cebong dan anti terhadap kubu sebelah yang dianggap sebagai kadrun. Buzzer politik kemudian turut meramaikan panggung politik untuk mempertahankan ‘euforia’ cebong vs kadrun dari tahun 2014 sampai sekarang.

Jika ditarik ke belakang, tentu kita harus kembali mengingat momen debat pemilu capres (calon presiden) yang terjadi pada tahun 2014 di Hotel Holiday Inn. Berikut kutipannya :

“Di sini saya dan JK punya komitmen untuk mendukung penuh Palestina jadi negara merdeka, dan berdaulat dan mendukung penuh Palestina jadi anggota penuh PBB (Asril & Aritonang, 2014).”

Narasi Palestina yang dianggap belum merdeka tentu menyiratkan adanya penjajahan yang terjadi di negara tersebut. Pernyataan ini sarat sekali menghadirkan sebuah oposisi biner dalam bentuk Israel dan Palestina.

Momen pemilu tentu sudah dekat. Tidak ada hal yang lebih urgen lagi yang dapat kita lihat selain kemudian berusaha untuk mempertahankan para calon pemilih yang sejak tahun 2014 sudah ‘dilatih’ untuk melihat secara hitam dan putih terhadap kompleksitas sosial justru sejatinya berwarna. Tidak ada salahnya kita dapat melihat bahwa penolakan terhadap kedatangan Timnas Israel oleh para elite politik ini adalah bentuk dari oposisi biner yang dipertahankan untuk menyambut Pemilu Tahun 2024. Toh praktik ini sudah dilakukan sejak Pemilu Tahun 2014.

 

Artikel ini ditulis oleh Triesanto Romulo Simanjuntak, M.A, Dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.

Rekomendasi
Berita Lainnya