SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, BANJARNEGARA — Fenomena embun es di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, mengundang perhatian banyak pihak. Banyak dari mereka yang sengaja datang langsung ke lokasi, demi ingin melihat dan mengabadikan momentum tersebut.

Embun es itu sering disebut sebagai salju di Dieng dan disamakan dengan di negara-negara beriklim sedang atau dingin. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kepala Stasiun Geofisika Banjarnegara (BMKG Banjarnegara) Setyoajie Prayoedhie menjelaskan, fenomena embun es merupakan anomali cuaca ekstrem yang disebabkan oleh banyak faktor dan biasa terjadi di daerah dataran tinggi.

Berdasarkan hasil analisa BMKG, lanjut Setyoajie, aliran massa udara di wilayah Indonesia saat ini didominasi angin timuran, yaitu massa udara dingin dan kering yang berasal dari Benua Australia. Wilayah belokan angin terjadi di wilayah Sumatera Utara bagian barat dan Kalimantan bagian utara.

Monsun Asia pada dasarian III Juni diperkirakan tidak aktif, sementara monsun Australia diperkirakan lebih kuat dibanding normalnya. Hal ini berpotensi mengurangi peluang pembentukan awan dan hujan di wilayah Indonesia khususnya bagian selatan.

“Analisis tanggal 19 Juni 2019 menunjukkan MJO aktif di fase 5 [Maritime Continent] kemudian diprediksi tidak aktif hingga pertengahan dasarian I Juli 2019. Kondisi ini diperkirakan tidak berkontribusi terhadap penambahan atau pengurangan awan konvektif di wilayah Indonesia,” kata Setyoajie Prayoedhie kepada Suara.com, Senin(24/6/2019) malam.

Dampaknya, lanjut dia dataran tinggi berupa puncak gunung atau di atas lereng gunung menjadi dingin secara cepat. Hal itu diakibatkan karena kehilangan radiasi.

“Oleh sebab itu, di puncak gunung bertekanan lebih tinggi dibandingkan dengan di lembah. Udara yang lebih dingin memiliki densitas (kerapatan udara) yang lebih besar, kemudian akan mengalirkan udara ke lembah [catabatic flows],” kata dia.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, udara dingin yang mengalir ke lembah secara signifikan mempercepat laju kondensasi uap air atau embun yang ada di permukaan. “Hal inilah yang dikenal sebagai embun es [frost], seperti yang terjadi di Dieng,” kata dia.

Menurutnya, embun es di dataran tinggi Dieng merupakan fenomena yang wajar, karena tahun-tahun sebelumnya juga terjadi di musim kemarau. “Itu wajar, karena di Jateng saat ini sudah masuk musim kemarau,” kata dia.

Disinggung mengenai kemungkinan dampak bagi kesehatan manusia, Setyoajie Prayoedhie menyebutkan tidak terlalu berpengaruh. Hanya saja, masyarakat khususnya yang tinggal di kawasan tersebut akan merasakan suhu udara yang lebih dingin dari biasanya.

“Untuk dampak pada tanaman, itu bisa mengakibatkan layu atau matinya bibit sayuran, khususnya yang belum cukup umur,” jelas dia.

Fenomena embun es di dataran tinggi Dieng, lanjut Setyoajie Prayoedhie masih memungkinkan terjadi lagi. Mengingat puncak musim kemarau di wilayah tersebut dan Jateng pada umumnya, diperkirakan baru akan berlangsung sekitar bulan Agustus mendatang.

Fenomena embun es di wilayah tersebut sudah terjadi beberapa kali di musim kemarau ini. Kepala Unit Pengelola Teknis (UPT) Pengelolaan Obyek Wisata Banjarnegara Aryadi Darwanto mencatat, fenomena itu sudah terjadi delapan kali dalam bulan Juni 2019 ini. Fenomena yang sama juga pernah terjadi dalam bulan Mei lalu.

Dingin di Perkotaan

Pada Senin pagi tadi, kisaran pukul 05.00 WIB, pihaknya mengukur suhu udara di wilayah tersebut sampai -9 derajat Celsius. Analisis serupa sebenarnya sudah diungkapkan oleh pejabat Stasiun Klimatologi Kelas 1 Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kota Semarang.

Kepala Seksi (Kasi) Data dan Infromasi (Datin) Stasiun Klimatologi Kelas I BMKG Kota Semarang, Iis Widya Harmoko, mengatakan pada saat musim kemarau di Indonesia, wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Tekanan udara di Australia yang cukup tinggi itu menyebabkan terbentuknya antisiklon di daerah tersebut dan massa udara di Australia yang bersifat dingin dan kering. Sementara di Asia atau sebelah utara Indonesia mengalami musim panas yang menjadi daerah bertekanan rendah dan terbentuk siklon.

“Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia dan rendah di Asia ini menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia dengan membawa massa udara dingin dan kering ke Asia, melewati Indonesia, yang kemudian dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia,” ujar Iis saat dihubungi Semarangpos.com, Jumat (21/6/2019).

Kepala Stasiun Klimatologi Kelas I BMKG Kota Semarang, Tuban Wiyoso, mengatakan suhu udara yang dingin di kawasan perkotaan atau dataran rendah belum seberapa jika dibandingan di pegunungan atau dataran tinggi.

“Kalau di dataran rendah, temperaturnya bisa turun sampai 22 derajat Celcius, di wilayah pegunungan bisa tambah dingin. Bisa mencapai 10 derajat celcius, untuk permukaan tanahnya bisa mencapai 4 derajat celcius bahkan membeku,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya